Kulturalisasi Visi dalam Organisasi

"Wright bersaudara memang bermimpi dan merintis pembuatan pesawat terbang; tetapi ribuan ahli yang bekerja di berbagai industri pesawat terbang hari ini yang benar-benar membuat pesawat terbang lebih aman dan bermanfaat."

Kita mungkin saja bervisi besar; tetapi ilham biasanya datang dari pihak lain. Maksudnya, kita boleh saja punya visi, tetapi orang lain memiliki strategi. Visi dan strategi seharusnya dikolaborasikan dalam sebuah tim misi. Visi yang besar biasanya membutuhkan energi yang besar pula. Visi harus diterjemahkan ke dalam misi dengan tim yang solid.

Dewasa ini, visi bukan lagi milik individual, melainkan hasil renungan bersama. Dengan demikian, visionisasi adalah sebuah proses yang menumbuhkan pemahaman bersama tentang gambaran organisasi di masa depan, atau ke mana ia akan di bawa. Melalui proses visionisasi, para manejer dan pekerja bersama-sama melakukan perjalanan jauh memasuki inti jiwa organisasi, mengeksplorasi seluruh kekuatan dan kelemahannya, dan menciptakan potret wujud ideal suatu organisasi bersangkutan.

Ada empat level dalam proses visionisasi:

  1. Level filosofi. Refleksi atau perenungan. Dalam fase ini nilai-nilai disusun, yaitu mempresentasikan nilai pada masing-masing sub kultur dan sub kultur lainnya. Kita hidup dalam budaya yang lain dan dengan filosofi yang berbeda pula. Di level ini, refleksi atau perenungan sangat diperlukan untuk menguji dan menilai sebuah visi. Apa sebenarnya yang menjadi inspirasi dalam visi itu sehingga kita giat untuk menggapainya? Visi yang baik dan jujur adalah motivator utama bagi semua orang yang bergabung dalam misi suatu lembaga. Visi harus berbeda secara signifikan agar tidak menerima sinisme. Dialog merupakan media untuk mempresentasikan visi. Rumus praktis untuk level filosofi ini adalah dialogis; renungkan visi bersama tim misi, maka akan ditemukan orang-orang yang bekerjasama dengan sangat antusias.
  2. Level psikologi. Atau level kreativitas. 95% orang termotivasi karena mengerjakan sesuatu dengan visi yang jelas dan kuat, tetapi 5% sikap menentukan keberhasilannya. Level ini mengajarkan sikap untuk mewujudkan 95% visi. Istilah tehknisnya adalah kreativitas. Kreativitas bukan milik satu pribadi saja. Mungkin saja seseorang mampu mengerjakan segalanya dengan baik berdasarkan daya kreativitas yang dimiliki, tetapi biasanya orang lain memiliki cara yang lebih efisien dan efektif. Kreativitas bukan terletak pada kapasitas individu tetapi pada kemampuan menggabungkan ide-ide di sekitarnya menjadi sebuah kekuatan dinamis untuk melengkapi 95% visi yang ada. Di level ini partisipasi kreativitas sangat diutamakan.
  3. Level sosial. Berpikir sistematik. Dunia sosial itu rumit. Berpikir secara zig-zag atau quantum saja tidak cukup memberikan solusi; yang diperlukan adalah berpikir secara sistemik. Dunia sosial bersentuhan dengan kultur. Kultur terbentuk dari suatu sistem. Sistem dalam suatu kultur dapat ditelusuri secara sistematis. Dalam level ini, visi dibagikan kepada pihak kedua dan ketiga. Pihak pertama adalah visioner; pihak kedua sebagai pelaksana; dan pihak ketiga adalah stakeholder-realitas sosial yang memiliki struktur budaya tersendiri. Konsep ini relevan dengan organisasi yang menjadikan manusia sebagai asetnya. Ide partisipatoris muncul dalam level ini. Artinya partisipasi masyarakat itu sendirilah yang menentukan perubahan dan pemberdayaan bagi dirinya sendiri. Jadi apakah visi harus dibagikan kepada staf dan stakeholder? Ya, mereka memerlukan arahan sehingga mereka siap terlibat dalam misi bersama leader - fasilitator. Mengapa pihak kedua, staf dan ketiga (stakeholder) perlu terlibat dalam misi? Karena perubahan dimulai dari diri sendiri, dari kelompok, dan dari komunitas itu sendiri? Tidak ada cara yang lebih baik untuk mengefektifkan suatu visi kecuali melibatkan level sosial dalam proses penggapaiannya. Biarkan semua orang memahami visi kita dan mereka siap terlibat, maka visi kita akan menjadi kenyataan.
  4. Level persepsi. Membaca hubungan atau konsekuensi logis. Berpikir sistemik adalah acuan utamanya. Semakin sistematis proses visionisasi, maka semakin logis sebab-akibat penerapan suatu misi dalam level sosial. Setiap persepsi yang dideteksi biasanya muncul berdasarkan analisa yang sistematis. Tindakkan ‘X’ menyebabkan perilaku ‘Y’. Visionisasi di level persepsi ini tetap melibatkan ketiga pihak. Keterlibatannya tergambar ketika masing-masing pihak mampu menjawab: ‘Untuk apa?’, ‘Bagaimana?’ dan ‘Mengapa?’; kemudian dibalik menjadi: ‘Mengapa?’, ‘Bagaimana?’ dan ‘Untuk apa?’ Jawaban masing-masing pihak akan menjadi penentu apakah konsekuensi logis suatu tindakkan dapat dibaca? Efektifkah suatu kegiatan di masyarakat? Oleh sebab itu, visi harus praktis: dapat dijabarkan ke dalam elemen-elemen ritual, seremonial dan simbol-simbol praktis yang menjiwai tersiratnya nilai-nilai, asumsi-asumsi dan sejarah organisasi.

Visi Organisasi Harus Berbudaya

Budaya yang dimaksud adalah:

  1. Budaya adaptif. Visi jangan ekslusif. Visi harus menjadi materi yang paling utama dibagikan dan dipahami oleh semua pihak. Visi yang adaptif diresponi secara antusias dan ada kerelaan semua pihak untuk terlibat di dalamnya. Dalam pengertian ini, resistensi hampir tidak mungkin terjadi. kita dapat membayangkan istilah “Ada Udang di Balik Batu” dikaitkan dengan visi yang terselubung; mungkin saja dalam suatu misi banyak orang akan terlibat, tetapi apa yang akan terjadi ketika keterlibatan itu menyingkapkan sesuatu yang terselubung. Ini adalah penipuan! Misi tidak akan pernah maksimal tanpa jabaran yang adaptif, berbudaya dan bermartabat.
  2. Budaya misi. Berarti melibatkan hampir semua sektor, termasuk sumber daya manusia ke dalam tim. Dalam budaya misi semua pihak diarahkan kepada suatu fokus yang jelas; yang di dalamnya melibatkan sistem, strategi, kekuatan yang terkolaborasi. Dalam budaya misi, tidak ada orang yang hebat atau orang yang tidak berguna. Mengapa banyak organisasi yang tidak bertahan dan hancur sebelum berkarya? Karena tidak memiliki budaya misi yang baik! Budaya misi harus mengakui dan menghargai tim sebagai kekuatan yang solid.
  3. Budaya partisifatif. Penyebab utama kegagalan suatu organisasi terletak pada model manajemen partisipasi yang tidak profesional. Identifikasi ini sering diabaikan. Sebaliknya, penentu utama kesuksesan suatu organisasi bukan terletak pada ‘brand’ yang ekselen dan dana yang melimpah, tetapi pada produk yang berkaitan dengan konsumen. Seperti dikatakan oleh John Doerr, “Dalam dunia masa kini, teknologi tersedia berlimpah, entrepreneur berlimpah, demikian juga dana dan modal ventura yang berlimpah. Yang kurang adalah tim yang tangguh”. Dalam manajemen partisipasi, berbagai pihak adalah mitra dan motor penggerak sistem partisipatoris yang diterapkan dalam organisasi. Dalam budaya partisipatif, partisipan dilibatkan untuk melihat secara menyeluruh suatu misi berdasarkan visi yang sah, bukan secara sempit berdasarkan ide-ide yang ambisius dan individual. Idealnya, dalam budaya partisipatif, setiap kebijaksanaan harus memperhatikan banyak kepentingan dan menyertakan semua pihak di dalamnya. Memang, semua orang bisa bekerja dengan baik jika ia mengerjakan hal-hal kecil menurut keterampilannya dan terfokus, tetapi metode ini bukan budaya partisipatif. Partisipasi, sekecil dan sesederhana apapun adalah wujud keterlibatan dalam mengemban misi untuk menggapai visi.
  4. Budaya konsisten. Konsisten berarti teguh pada pendirian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan konsekuensi yang telah menjadi persepsi awal. Dalam budaya ini tidak ada karakter plin-plan atau bekerja berdasarkan mood. Visi tidak sama dengan mood atau ide-ide instan. Visi adalah standard untuk suatu tindakkan. Kegiatan dan kebijaksanaan mungkin saja terganggu dan mengendor karena berbagai faktor, tetapi visi harus konsiten. Visi menjadi tidak konsisten karena tidak pernah dijabarkan secara jelas, tidak adaptif, tidak praktis, tidak partisipatif dan kegagalan dalam menganalisa konsekuensi logis dari visi itu sendiri.

Ketidakkonsistenan juga muncul akibat budaya buruk yang menghambat, seperti:

  1. Budaya ketakutan. Ketakutan untuk disaingi atau tidak dihargai atau tidak dilibatkan.
  2. Budaya menyangkal. “Lempar batu sembunyi tangan”. Tidak mampu menganalisa setiap konsekuensi dan menyerah. Budaya ini sering menjadi pemicu untuk menjadikan pihak lain sebagai sasaran atau korban kebijaksanaan. Budaya ini biasanya milik pemimpin yang berjiwa pengecut.
  3. Kepentingan pribadi. Ambisi dan hasrat untuk diakui/dihargai sangat berperan di dalam budaya ini. Biasanya orang yang hidup dalam budaya ini mengagungkan istilah-istilah tekhnis yang bersifat volunteer sebagai strateginya untuk mengerjakan sesuatu. Kunci mautnya adalah “pelayanan”, “demi yayasan”, “ini tuntutan moral” atau “demi sesuatu yang lebih mulia” dan sebagainya. Tahukah anda bahwa lebih banyak orang senang dilayani ketimbang melayani? Maksudnya, orang lain (bawahan) diharapkan untuk mengikuti saja ide-ide dan keinginan salah satu pihak (atasan). Melayani tidak harus membasuh kaki bawahan, tetapi melawan ide sama artinya tidak mau melayani.
  4. Budaya Mencela. Budaya jorok! Budaya ini berarti tidak mengindahkan pendapat, pertimbangan, ide, pekerjaan, dan hasil karya orang lain. Budaya ini 99% sebagai penyebab ketidakharmonisan personil dalam suatu organisasi. Tidak ada orang yang senang dicela! Tetapi banyak yang memelihara budaya ini!
  5. Tidak percaya. Budaya ini dekat dengan penyakit sosial karena keputusan untuk tidak mempercayaai tersebut muncul dari ketidakmampuan untuk bertanggungjawab atas setiap konsekuensi keputusannya. “Lebih baik saya tidak mempercayaimu daripada saya menjadi korban!” Ini budaya primitif yang seharusnya tidak diadopsi oleh orang di jaman ini.
  6. Anomi. Budaya yang berupaya melibatkan pihak X (atau bayangan/atas nama obyek) yang tidak teridentifikasi sebagai penyebab, tetapi akibatnya ada korban yang teridentifikasi. Komentar pamungkas dalam budaya ini: “Keputusan ini adalah kebijaksanaan bersama”! Siapa yang mengambil keputusan final? Tidak tahu! Anonim!
  7. Mengedepankan kelompok. Kelompok dan tim adalah istilah yang berbeda. Bisa saja satu tim terdiri dari banyak kelompok. Setiap organisasi terdiri dari banyak kelompok. Jika salah satu kelompok menonjol maka akan meyembabkan kelompok lain menjadi iri, down, dan terluka. Bayangkan saja jika dalam satu organisasi membentuk kelompok-kelompok dan berusaha saling menonjolkan diri dengan berbagai prestasi di depan kelompok lain? Orang secara wajar akan bertanya: “Apa efeknya bagi kegiatan anda dan apa untungnya secara menyeluruh?” Masing-masing memiliki kelebihan dan fungsi, jadi jangan saling menonjolkan satu kelebihan dan melupakan 1000 kelebihan yang lain.

Jadi, visi yang berbudaya tidaklah mementingkan keasliannya, tetapi seberapa baik visi tersebut melayani kepentingan unsur-unsur utama- pelanggan, stakeholder, karyawan dan seberapa mudah visi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam strategi yang realistis sehingga membentuk suatu budaya dalam suatu organisasi. Dan mensharekan visi lebih merupakan penghayatan visi itu, hari demi hari – menterjemahkannya ke dalam hidup anda sendiri – dan memberdayakan setiap orang lain dalam organisasi untuk mewujudkan serta melaksanakan visi itu dalam segala hal yang mereka lakukan.

Sola Gratia,
Riwon Alfrey

Kategori: Kepemimpinan Kristen

Keywords Artikel: Organisasi

Topic Artikel: Leadership