Hak Kebebasan Beragama

Hak Kebebasan Beragama Dari Sudut Pandang Iman Kristiani Dalam Konteks
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

I. Pendahuluan.

Tulisan ini akan menjelaskan mengenai hak
kebebasan beragama dari sudut pandang Iman Kristiani dalam konteks Deklarasi
Universal HAM secara khusus dalam pasal 1 dan 18, dengan terlebih dahulu
menguraikan secara singkat mengenai sejarah pemikiran Deklarasi Universal HAM,
baru akan diuraikan mengenai sejarah pemikiran Hak Kebebasan Beragama yang
tertuang dalam pasal 1 dan 18 dari Deklarasi Universal HAM. Penulis juga akan
memaparkan pandangan Kristiani mengenai HAM, secara khusus tentang kebebasan
beragama dalam konteks Deklarasi Universal HAM, dengan harapan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dalam penghormatan hak kebebasan beragama.

II. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM

Deklarasi
Universal HAM yang juga disebut “ Magna Carta”

[1]


(Piagam Mulia) adalah suatu pernyataan dari milyaran manusia dibumi yang
merindukan adanya proteksi dari HAM dalam dunia. Deklarasi ini dapat disebut
sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena deklarasi itu telah dijadikan
pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Walaupun Implementasi
dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian
semua umat manusia, tetapi, adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan
HAM itu telah merupakan suatu prestasi penting.

Tidaklah
berlebihan jika Deklarasi Universal HAM itu disebut sebagai Piagam Mulia,
karena sejak deklarasi itu di tetapkan semua manusia mengerti apakah tindakan
atas sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika
Deklarasi tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam
suatu negara, maka HAM itu kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan
dalam suatu negara. Terbukti, Deklarasi tersebut juga telah membuat
negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM
dinegara tempat mereka memerintah.

[2]

Kedudukan
Deklarasi Universal HAM itu juga menjadi penting bagi suatu negara, karena mempengaruhi
hubungan luar negeri negara tersebut. Deklarasi Universal memang tidak
mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak memiliki polisi internasional untuk
mengawasi pelaksanaan hak-hak tersebut, demikian juga untuk mengadili pelanggar
HAM di suatu negara. Namun, laporan mengenai keadaan suatu negara yang tidak
mengadakan proteksi terhadap HAM membuat banyak kesulitan bagi negara tersebut
dalam menjalin hubungan internasional.

Sejak
diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tanggal 10 desember 1948, deklarasi itu telah banyak mempengaruhi banyak negara
di dunia untuk melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya
Deklarasi tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada,
demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim
yang otoriter.

Deklarasi
Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia
internasional dibangun di atas dasar pemahaman bahwa HAM adalah hak yang
dimiliki oleh manusia dan melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun dapat
mencabutnya, karena hak tersebut dimiliki oleh manusia karena terlahir sebagai
manusia,

[3]


hal tersebut secara eksplisit dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal
HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas
hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia
merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian didunia.”

[4]


Pandangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang didasari oleh hukum kodrat
yang dicetuskan oleh John Locke. Sehingga Rhoda seorang pengamat tentang
hak-hak asasi manusia mengatakan :

Hak asasi manusia adalah masalah sekuler:
hak ini berasal dari pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan
keputusan Ilahi. Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih
terjamin kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan ini tidak
mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang
bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti
harus universal, tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya sebagai
prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan pada agama,
melainkan pada masyarakat sekuler, pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang
diperlukan semua orang untuk hidup bermartabat

[5]

Pandangan Rhoda
tersebut lahir untuk menanggapi pandangan yang menolak universalitas dari HAM.
Agama-agama yang berbeda ternyata menghasilkan konsep HAM yang berbeda sehingga
universalitas HAM mengalami gugatan dari kaum relativisme HAM, karena itu bagi
Rhoda seorang penganut universal HAM, tidak penting apakah agama-agama setuju
atau tidak, dan HAM harus bersifat universal. Pemahaman Rhoda tentang HAM yang
bersifat universal merupakan penelusuran konsep HAM modern yang memang
dipelopori oleh para filsuf, secara khusus John Locke.

Pengaruh pikiran
Locke sangat kental dalam lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.
Karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dianggap sebagai
penetapan yang paling awal dari HAM secara konstitusional

[6]


dan deklarasi tersebut dipengaruhi oleh pikiran Locke, maka lahirnya HAM dalam
konsep modern yang bersifat internasional dianggap buah karya masyarakat
sekuler.

Mengenai
pengaruh pikiran John Locke dalam isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
David Weissbrodt menjelaskan sebagai berikut:

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun
1776 menyatakan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua orang untuk
hidup, untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-hak ini diturunkan dari
teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang mengatakan bahwa individu itu pada
kodratnya otonom. Begitu masuk ke dalam masyarakat, otonomi setiap individu
bergabung membentuk kedaulatan rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat yang
tidak dapat dihilangkan itu telah berubah menjadi hak untuk memerintah diri
sendiri ( Self –Government) termasuk hak untuk menentukan dan mengubah
pemerintahnya. Namun masing-masing individu juga masih tetap memiliki beberapa
otonominya yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri tidak
boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak yang masih dimiliki itu telah
menyebabkan masing-masing negara bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan
Bill Of Rights kepada Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.

[7]

Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan
hasil dari analisa kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk suatu pemerintahan.
Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke tersebut tertuang dalam pernyataan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditulis oleh Thomas Jefferson
seperti berikut:

Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini
sudah jelas dengan sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa
penciptanya telah menganugrahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat
dicabut; bahwa diantara hak-hak ini adalah hak untuk hidup bebas dan mengejar
kebahagiaan- bahwa untuk menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan
pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan persetujuan
(kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak
tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.

[8]

Pengakuan akan
hak-hak Asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat juga ada dalam Deklarasi Perancis tentang hak-hak manusia dan warga
Perancis tahun 1789.

[9]


Perbedaannya adalah jika Amerika Serikat berjuang untuk merdeka, maka Perancis
berjuang menghancurkan sistem pemerintahan yang absolud dan mendirikan negara
demokrasi.

[10]

Sebelum konsep
HAM modern ditetapkan secara konstitusional dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika
Serikat dan Perancis pada abad XVII di Eropa sudah banyak orang berpikir
tentang masalah HAM, hal ini tidak mengherankan karena pada tahun 1215 di
Inggris lahir Piagam Agung (Magna Charta) hasil perjuangan kaum bangsawan
Inggris melawan kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi batasan yang jelas
dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolud.

[11]

Piagam
Mulia ini menjadi induk bagi perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern.

[12]


Namun percakapan dan penghormatan HAM sebenarnya juga sudah ada sejak sebelum
Masehi. Pada zaman Yunani Kuno, pada abad kedua sebelum masehi, seorang ahli
hukum Romawi kuno bernama Cicero
mencetuskan pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah
sama dan semua manusia dilahirkan bebas”

[13]


Tetapi apabila ditarik lebih jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam
kesamaan dan kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama
melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah (kejadian 1:26). Jadi martabat manusia yang mulia bukan
ada dengan sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah.
Tidak seorangpun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu sendiri.
Walaupun pada abad XIX Gereja Katolik secara organisasi (tindakan gereja secara
organisasi belum tentu sesuai dengan pandangan Alkitab) merupakan pendukung
pemerintahan monarkhi dan menolak HAM, sikap gereja tersebut disebabkan trauma
yang dialami gereja pada waktu revolusi Perancis dimana dalam revolusi tersebut
ribuan imam Katolik dihukum mati karena tidak mau mengucapkan sumpah pada
konstitusi

[14]

Puncak
penolakan kebebasan beragama dalam gereja Katolik terjadi pada tahun 1964
dimana kebebasan agama dan toleransi dikutuk sebagai kesesatan.

[15]

Sikap
gereja yang melakukan pelanggaran HAM juga nyata dalam perang-perang salib
serta pertikaian antara gereja Katolik dan aliran Kalvinis yang dianggap bidat.

[16]

Namun
tindakan-tindakan salah gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui
tindakan tersebut. Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja mendukung
penegakkan HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes Paulus II yang memuji
Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi
dan sendi yang mendasar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

[17]

Dalam sejarah
agama-agama terlihat bahwa semua agama besar di dunia ini pernah melakukan
tindakan kekerasan terhadap agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan
bahwa didalam agama tersebut melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan
yang dilakukan umat beragama terhadap umat agama yang berbeda dilatar belakangi
oleh hal lain seperti politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama
itu sendiri.

Pada mulanya
proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua
dimana dunia mengalami trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi
jutaan manusia, serta perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak
itu promosi dan proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik

[18]

Perjuangan
HAM yang bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB
dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM.
Perjuangan HAM yang bersifat internasional tersebut akhirnya menghasilkan
Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948.

[19]


Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan sebagai standar umum untuk
semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki
kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika Serikat.

[20]

Karena
itu tidaklah mengherankan jika Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap
dipengaruhi oleh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis,
dimana keduanya dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati, maka
dalam pikiran modern HAM dianggap dipengaruhi oleh konsep Locke tentang hukum
kodrati dan menjadi buah karya masyarakat sekuler. Walaupun hukum kodrati itu
sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh Locke.

Deklarasi
Universal HAM yang ditetapkan PBB sebagai standar umum bersifat tidak mengikat,
karena itu dalam usaha untuk meneggakkan HAM yang bersifat universal lahirlah
konvensi-konvensi yang bersifat mengikat.

II. Sejarah Pemikiran Hak Kebebasan Beragama Dalam Deklarasi Universal
HAM.

Setelah
penulis menjelaskan mengenai sejarah pemikiran HAM secara umum, maka dalam
bagian ini penulis akan memaparkan mengenai sejarah pemikiran perlindungan hak
kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM.

Hak
Kebebasan Beragama merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia hal
tersebut dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal satu dan 18 yang berbunyi:

Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan
setara dalam martabat dan hak. Mereka
dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat
persaudaraan.(pasal1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau
keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi, atau bersama-sama dengan
orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau
keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan kataatan.

[21]

Pernyataan
mengenai kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM merupakan sesuatu
yang dipengaruhi oleh seruan Presiden Roosevelt tentang 4 macam kebebasan.
Dimana salah satunya adalah kebebasan untuk setiap orang bertakwa kepada Tuhan
menurut caranya sendiri (Freedom of every person to worship god in his way).

[22]

Pernyataan Presiden Roosevelt
juga tidak dapat dipisahkan dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
juga memberikan hak kebebasan beragama dimana dalam Deklarasi Kemerdekaan
tersebut Amerika Serikat menyatakan bahwa negara terpisah dari agama, dan
negara memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama, dimana Penetapan
bahwa setiap orang bebas untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama merupakan
elemen dari hak asasi yang paling utama, tanpa adanya penghormatan terhadap hak
tersebut maka tidak mungkin ada penghormatan terhadap HAM.

[23]

Perngakuan
kebebasan beragama secara internasional nyata dengan adanya pengakuan kebebasan
beragama dalam The Peace of Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30
tahun. Pada waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam Negara
Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam Negara Reformed. Westphalia
pada waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama.

[24]

Pemisahan
antara agama dan negara yang merupakan kelahiran Negara Sekuler dipelopori oleh
pengakuan “ Peace of Westphalia” dan pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi
lahirnya Negara Sekuler Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama.
Dokumen Peace of Westphalia juga dianggap sebagai karya
manusia modern. Sehingga pangakuan kebebasan beragama juga dianggap produk
masyarakat sekuler. Mengenai kesepakatan Peace of Westphalia Tamrin Amal
Tomagola menjelaskan seperti berikut:

Kesepakatan itu sendiri sebenarnya
merupakan anak kandung dari proses Renaissance yang telah bergulir sejak abad
13 di sana. Proses ini secara
signifikan mempretelli kekuasaan gereja dan memunculkan Negara Sekuler. Negara
Sekuler ini selain mengharuskan pemisahan agama dari negara, ia juga didirikan
berlandaskan asumsi bahwa individualisme telah menjadi kenyataan dan berperan
nyata sebagai pilar-pilar negara. Dicanangkannya individu-individu yang mandiri
ini secara asertif mampu melepaskan diri baik dari ikatan dan tekanan kolektiva
suku maupun agama (umat).

[25]

Dalam
pelaksanaan kebebasan beragama nampak bahwa Negara Demokrasi yang menerima
adanya Negara Sekuler merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk
adanya pengakuan kebebasan beragama. Dan syarat tersebut merupakan sesuatu yang
sulit untuk dapat dipenuhi, karena masih terlalu banyak negara di dunia yang
tidak pernah ingin memisahkan antara negara dan agama. Akibatnya walaupun
pengakuan kebebasan beragama secara
internasional yang paling tua dibandingkan dengan hak-hak lainnya.
Implementasinya justru menjadi hal yang paling sulit dikerjakan.

Pengakuan Hak Kebebasan Beragama tetap
dianggap sebagai karya manusia sekuler, bukan saja karena keyakinan bahwa
dokumen Peace of Westphalia merupakan anak kandung dari proses Renaissance,
tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang memiliki
pengaruh terhadap dimasukkannya kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal
HAM dianggap dilatar belakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuf jaman
modern.

[26]

Pernyataan
Hak Kebebasan Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat
dilindungi oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (Negara Sekuler)
dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam
tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang ditulis oleh
Locke ketika berada dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1965.

[27]


Mengenai pemisahan antara agama dan negara, Locke menjelaskan seperti berikut:

Kekuasaan sipil akan sama dimana saja: di
tangan seorang raja Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada gereja, dibanding dengan seorang kafir…Darimanapun asalnya
kekuasaan tersebut, karena bersifat gerejawi, kekuasaan tersebut harus terbatas
dalam batas-batas gereja, dan dengan cara apapun tidak boleh diperluas ke
urusan-urusan sipil; karena gereja itu dalam dirinya sendiri adalah mutlak
terpisah dan berbeda dari masyarakat. Batas-batas di kedua belah pihak adalah
tetap dan tak dapat digoyahkan.

[28]

Bagi
Locke negara dan agama harus terpisah, sehingga orang yang beragama apapun yang
memegang kekuasaan negara itu tidak boleh memberikan hak khusus kepada kelompok
agama tertentu. Pikiran Locke inilah yang mendasari adanya pemisahan antar
agama dan negara dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang memberikan
perlindungan terhadap Hak Kebebasan Beragama. Karena hal tersebut mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perlindungan kebebasan beragama dalam Deklarasi
Universal HAM, maka pengakuan Hak Kebebasan Beragama kemudian diklaim sebagai
buah karya manusia sekuler, karena Locke adalah seorang filsuf. Dan pemberian
perlindungan terhadap Hak Kebebasan Beragama lebih mendapat tempat dalam negara
yang memisahkan antara agama dan negara. Sampai saat ini belum ada bukti adanya
negara yang tidak bersifat diskriminatif terhadap agama-agama lain yang tidak
memisahkan antara negara dan agama.

Hak Kebebasan
Beragama merupakan pengakuan yang tertua secara internasional dari
elemen-elemen HAM lainnya namun ternyata penegakkan kebebasan beragama
merupakan yang paling lambat dari pada hak-hak lainnya, hal ini juga terjadi
karena agama sering kali dimanipulasi untuk kepentingan politik, padahal
sebenarnya agama tidak semestinya menimbulkan kekerasan.

[29]

Pada faktanya
hampir semua agama di dunia pernah melakukan kekerasan terhadap agama lain.
Agama Kristen juga pernah melakukan kekerasan pada waktu agama Kristen menjadi
agama negara, saat itu terjadi penghukuman terhadap bidat Kristen dengan sangat
kejam. Demikian juga tindakan intoleran dilakukan oleh penganut agama Islam
terhadap agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial
secara spesipik bagi penganut agama diluar Islam. Kekerasan terhadap penganut
agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di Jepang, Budha sebagai
agama negara juga tidak bersikap toleran dengan agama-agama lain.

[30]

Jika
melihat kekerasan yang mengatas namakan agama nampak bahwa ada faktor lain yang
menyertakan kekerasan agama sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:

Fakta menunjukan bahwa agama dapat
menimbulkan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan
dan penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalah arahkan baik
dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama propetis
(nabi), seperti Islam dan Kristen, senderung melakukan kekerasan segera setelah
identitas mereka terancam. Dari sisi internal, agama profetis cenderung melakukan
kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena
pemahaman agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan
yang mendasari kekerasan poltik agama

[31]

.

Melihat
perkembangan agama-agama di dunia yang sering kali sulit dipisahkan dengan
negara maka dapat dipahami mengapa kekerasan atas agama begitu sering terjadi
dan sangat sulit di atasi. Dalam penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap
agama-agama tertentu dilakukan untuk melestarikan kekuasaan oknum yang
berkuasa. Agama-agama yang ada nasibnya ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika
agama-agama tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah,
agama-agama melakukan tindakan yang inkonstitusional untuk mendapatkan akses
tersebut, terjadilah tindakan kekerasan antar agama. Tindakan kekerasan atas
nama agama dilakukan oleh pemerintah dan juga oleh kelompok-kelompok tertentu
dalam usaha untuk menjaga eksistensinya.

Tidaklah
mengherankan jika perlindungan Hak-Kebebasan Beragama yang telah diakui secara
internasional lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam
implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit terlebih lagi dengan
adanya perbedaan pandangan mengenai kebebasan beragama ( paham universal dan
relativisme HAM), baik yang berasal dari negara atau kelompok agama tertentu.
Namun demikian usaha untuk menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami
perkembangan, hal ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948,
kemudian dibuat suatu covenant on Human Rights tahun 1966 dan kemudian pada
tahun 1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya “Declaration on the
Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or
Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat menunjukan bahwa Pelanggaran
Hak Kebebasan Beragama masih terus berlangsung dan perlu penanganan terus
menerus secara lebih serius. Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya
deklarasi tersebut menunjukan bahwa Kebebassan Beragama merupakan kerinduan
milyaran manusia di bumi ini, karena itu harus terus diperjuangkan

III.. HAM Dalam Perspektif Kristiani Dalam Konteks Deklarasi Universal
HAM.

Dalam
Perspektif Kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal HAM
tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah lama diakui. Pernyataan Bahwa semua
manusia memiliki martabat dan hak-hak yang sama (pasal 1-2), pengakuan akan
hak-hak sipil (pasal 3-21), dan hak-hak
ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta pasal-pasal penutup (pasal 28-30)
yang menetapkan bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan
internasional dengan menjalankan kewajibannya dalam masyarakat, adalah sesuatu
yang telah lama dinyatakan oleh Alkitab.

Dalam bagian ini
penulis akan memaparkan mengenai pandangan Kristiani mengenai HAM dalam konteks
Deklarasi Universal HAM dalam tiga bagian besar yaitu pertama mengenai sumber
dari HAM, kedua Keadilan Allah dalam Implementasi HAM, ketiga mengenai Hak Kebebasan Beragama menurut pandangan
Alkitab. Dan kemudian baru penulis akan menyoroti Pelaksanaan Kebebasan
Beragama di Indonesia.

1.Sumber HAM

Pernyataan
Deklarasi Universal HAM yang menjelaskan bahwa “ All human beings are born free
and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience
and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” Bukanlah
sesuatu yang baru ada dalam pemahaman John Locke yang terkenal dengan hukum
kodrat, dimana dipahami bahwa HAM merupakan sesuatu yang melekat dengan manusia
karena ia diciptakan sebagai manusia, sebagai hak-hak yang bersifat inheren,
bukan diberikan oleh manusia. Sehingga dengan demikian tidak seorangpun yang
mempunyai kuasa untuk merampas hak-hak tersebut dari diri manusia.

Konsep hukum
kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari HAM merupakan sesuatu yang telah
diakui sejak lama dalam masyarakat Kristen. Hanya saja dalam pandangan
Kristiani HAM tidak mungkin dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam
hubungan dengan Allah pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia
yang mempunyai martabat dan hak-hak yang sama itu bergantung pada pernyataan
Allah sendiri. Dalam hal ini Alkitab menyatakan dalam kejadian 1:27 bahwa manusia diciptakan segambar dengan
Allah dan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya, manusia adalah raja atas
dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan
kekuasaan manusia sebagai raja diberikan oleh Allah, sehingga manusia adalah
wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan manusia laki-laki dan
perempuan, keduanya berada dalam kesederajatan.

[32]

Karena
itu semua manusia harus diperlakukan sama karena ia diciptakan demikian oleh
Allah. Manusia tidak boleh menguasai sesamanya karena ia sederajat. Jadi HAM
adalah semua hak manusia untuk menjadi manusia. Manusia yang diberikan martabat
yang mulia oleh Allah, harus dapat hidup dengan menikmati martabatnya sebagai gambar
dan rupa Allah. Dan tidak boleh seorangpun mengambil hak-hak itu dari manusia,
kecuali Allah sendiri. Manusia pada hakikatnya sama-sama mulia dan mempunyai
hak-hak yang sama, sehingga tidak boleh seorangpun memperlakukan sesamanya
secara diskriminatif. HAM diberikan oleh
Allah maka dalam pandangan Kristen HAM
tidak berarti tidak tanpa batas, karena
HAM dibatasi oleh Hukum Allah sendiri. Manusia yang memiliki hak-hak yang sama
tersebut, wajib menjaga hak-hak orang lain, jika tidak maka ia akan berhadapan
dengan Allah hakim yang agung. Maka dalam pandangan Kristiani HAM secara
bersamaan juga kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain yang diberikan
oleh Allah, keberbedaan talenta seseorang tidak boleh menghalangi seseorang
untuk dapat bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak. Mandat Allah kepada
manusia untuk bekerja memelihara dunia harus dikerjakan secara bersama dan
semua orang yang berbeda tersebut memiliki kesedarajatan karena itu semua
manusia harus memiliki kesempatan yang sama untuk dapat memaksimalkan talenta
mereka dalam usaha memenuhi panggilan Allah. Semua hak yang diperlukan oleh
manusia untuk memenuhi panggilan Allah adalah HAM, karena itu harus dipenuhi.

2. Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM.

Alkitab
melaporkan bahwa Allah memberikan hukumnya kepada manusia untuk dapat
melaksanakan kebebasannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Pada waktu
manusia belum jatuh kedalam dosa, manusia dapat hidup dengan menikmati
hak-haknya sebagai manusia, tanpa mendapat halangan dari sesamanya. Namun
ketika manusia jatuh kedalam dosa, disitu manusia mendapat tantangan dari
sesamanya karena tak seorangpun manusia dapat mentaati hukum Allah secara
sempurna. Pelanggaran terhadap sesama manusia pada hakikatnya sama saja dengan
pelanggaran hukum Allah, sebaliknya pelaksanaan semua hukum Allah berarti
pelaksanaan kewajiban manusia untuk menjaga dan menghormati hak-hak
sesamanya.

Pada
masa sebelum kerajaan Israel Allah yang memberikan hak-hak kepada manusia dan
Allah sendiri yang menjaga terimplementasinya hak-hak tersebut dengan
memberikan hukum-hukumnya yang adil. Pada waktu Kain membunuh Habel, Allah
menghukum Kain, demikian juga ketika manusia bertambah jahat dimana manusia
tidak mentaati Allah maka Allah menghukum manusia yang tidak menghormati
sesamanya dengan mengambil hak hidup dari manusia dan hanya menyisakan Nuh
dengan keluarganya.

Pada waktu
manusia bertambah banyak dan ingin membangun pemerintahan sendiri, Allah
mencerai-beraikan mereka di Menara Babel.
Allah terus menjaga ciptaannya dengan memilih Abraham untuk membangun komunitas
yang hidup menyembah Allah dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan
Allah. Tetapi ternyata bangsa Mesir melakukan penjajahan terhadap umat Allah.
Dengan kekuasaannya Allah membebaskan Israel
untuk dapat hidup mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah. 10 hukum
Allah merupakan Undang-Undang Dasar bagi Teokrasi Israel secara langsung, hukum
ini berisi keadilan Allah yang jika dilaksanakan dengan baik akan menciptakan
proteksi terhadap HAM, karena hukum yang diberikan oleh Allah berisi
penghormatan yang mulia terhadap HAM. Namun karena kejahatan manusia, Israel
sebagai suatu komunitas yang dijadikan contoh bagi bangsa-bangsa lain untuk
hidup menghormati sesamanya dengan bergantung pada Allah tidak dapat mengikuti
kehendak Allah. Namun itu tidak berarti bahwa
Allah tidak menegakkan HAM, karena pada hakikatnya semua manusia akan
berhadapan dengan pengadilan Allah pada waktunya. Jadi Allah tetap menjaga HAM
dalam kehidupan sesama manusia.

Adanya raja di Israel
juga atas ijin Allah. Pada waktu itu memang antara negara dan agama sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan. Namun kekuasaan dalam kehidupan bangsa pilihan
Allah terletak pada Allah, dan mereka harus meneggakkan hukum yang didasarkan
pada keadilan Allah. Apabila raja tidak bertindak dengan adil, maka hukuman
secara langsung diberikan oleh Allah. Negara yang dibentuk Allah setelah
kejatuhan mudah untuk diserongkan, sehingga setiap warga negara wajib mengawal
pemerintah yang ada untuk tetap berada dalam jalur yang benar.

Kejahatan
manusia ternyata tidak berhenti, sehingga akhirnya Allah memakai bangsa-bangsa
lain untuk menjadi hakim atas umatnya. Umat Allah berada dalam penjajahan
bangsa yang tidak mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada
mereka. Jika pada mulanya Allah memerintah secara langsung “pemerintahan
teokrasi”, kemudian Allah memakai pemerintahan sekuler untuk tetap memelihara
umatnya. Memang pernah terjadi sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan
memasukan aturan yang tidak berkeadilan dalam pemerintahan Babel,
dan yang terkena dampak langsung dari ketidak adilan tersebut adalah Sadrak,
Mesakh dan Abednego. Tetapi oleh kedaulatan Allah mereka dipelihara Allah di
dalam kerajaan Nebukadnezar, tetapi sebagai alat Tuhan Sadrak, Mesakh dan
Abednego harus berjuang bagi adanya hukum yang berkeadilan. Penghormatan
terhadap bangsa yang berbeda dan pemeluk agama yang berbeda tetap terjaga dalam
pemerintahan sekuler karena negara tempat dimana Israel
dibuang oleh Allah dapat disebut negara sekuler dimana Pluralisme suku dan
agama dihargai. Jadi Allah dengan keadilannya tetap memelihara HAM, walaupun
tidak berarti orang percaya tidak berusaha untuk memperjuangkannya.

Dalam perjanjian
baru Allah tetap memakai pemerintahan sekuler untuk memelihara umatnya dan
seluruh ciptaan-Nya. Kerajaan Romawi tempat dimana Gereja lahir dan bertumbuh
adalah pemerintahan sekuler. Pada waktu itu masih ada penghormatan terhadap
kebebasan beragama, dimana dilaporkan oleh Alkitab bahwa murid-murid Tuhan Yesus
dapat berkumpul dan beribadah kepada Allah. Mereka tetap dapat beribadah sesuai
dengan agama mereka. Pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena Gereja yang
lahir dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang membutuhkan dukungan
komunitas Yahudi yang besar pada waktu
itu berpihak kepada agama Yahudi, sehingga keKristenan yang dianggap bidat
Yahudi mendapat perlakuan yang amat diskriminatif dari pemerintah yang
berkuasa. Pada waktu pemerintahan yang adalah alat Allah untuk menegakkan
keadilan-Nya demi terjaganya kesejahteraan ciptaan Allah dalam memenuhi
panggilan Allah sebagai manusia yang diciptakan Allah mulia tidak lagi
menegakkan keadilan Allah, maka terjadilah pelanggaran HAM. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang
penting bagi suatu negara untuk dapat menjaga implementasi HAM secara maksimal.
Apabila negara menegakkan keadilan Allah maka hubungan antar sesama manusia
akan terpelihara dengan baik, walaupun kekristenan juga percaya bahwa tidak ada
seorangpun yang dapat sempurna berpegang
pada keadilan Allah, sehingga tak seorangpun manusia atau lembaga yang dapat
menjadikan dirinya sumber/agen keadilan, sebaliknya setiap pribadi/lembaga
harus tunduk kepada hukum yang berkeadilan, sehingga perjuangan penegakkan HAM
bagi keKristenan bersamaan dengan perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum
yang berkeadilan dan bersumber pada Allah.

3. Kebebasan Beragama Menurut Alkitab.

Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa HAM merupakan pemberian Allah dan dapat
diimplementasikan dengan baik didalam hukum yang berkeadilan dan bersumber pada
Allah, maka menurut pandangan Kristiani Kebebasan Beragama juga harus
didasarkan pada Allah dan hukum keadilan Allah.

Alkitab
memerintahkan dalam keluaran 20:3, “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku”,
dan Dalam perjanjian Baru Yesus mengatakan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”(Matius
22:37). Kebenaran tersebut
dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat menyembah kepada dua tuan
(Matius 6:24). Pernyataan-pernyataan
di atas menunjukan bahwa manusia hidup dihadapan Allah. Sehingga semua manusia
hidup pada hakekatnya beragama karena semua manusia diperintahkan untuk
menyembah Allah. Jadi semua kehidupan manusia adalah agama.

[33]

Jadi menurut
pandangan Kristen Kebebasan beragama bukan hanya kebebasan untuk memilih hari
sabtu atau hari minggu untuk beribadah, tetapi jika hidup manusia adalah agama,
maka kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk untuk memilih setiap area
kehidupannya. Berarti Hak Kebebasan Beragama juga berarti hak untuk melepaskan
keyakinan agamanya atau berganti agama sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18
dari Deklarasi Universal HAM. Hak
Kebebasan Beragama adalah kemerdekaan untuk memeluk agamanya yang didasarkan
kehendak bebas manusia (sesuai dengan keinginan hati nuraninya), tidak
seorangpun dapat dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa
yang ia tidak ingin menyembahnya.

[34]

Sedang
menurut Vatikan II tahun 1965, kebebasan beragama merupakan hak yang didasarkan pada martabat
manusia yang dinyatakan oleh Firman Allah.

[35]

Selanjutnya
Kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan berkumpul karena aktivitas
agama bersifat komunal. Namun hak tersebut juga berarti hak untuk menyendiri,
karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak beragama. Karena itu aktivitas
penyembahan agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Hak menyembah
Allah sesuai dengan keyakinan dan agama seseorang baik pribadi maupun secara
berkelompok bukan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah, tetapi pemerintah
wajib menjaga agar Hak Kebebasan Beragama tersebut dapat terimplementasi dengan
baik. Karena itu penyembahan kepada Allah baik secara pribadi maupun kelompok
tidak memerlukan ijin dari pemerintah. Namun karena kebebasan beragama tidak
tanpa batas, maka kebebasan beragama secara bersamaan juga merupakan kewajiban
untuk umat beragama lain dapat melaksanakan kebebasan beragamanya.

Dalam
pandangan Kristiani Hak Kebebasan Beragama merupakan hak yang diberikan oleh
Allah, maka negara agamapun tidak dapat melakukan diskriminasi terhadap agama
lain, karena dasar hukum dari pelaksanaan tugas negara adalah menegakkan
keadilan Allah. Jika Allah sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menyembah Allah atau tidak meyembahnya walaupun dengan ganjaran akan menghadapi
pengadilan Allah, maka negara agama tidak dapat memakai kekuasaan negara untuk melakukan diskriminasi
terhadap umat beragama lain, karena hak tersebut yang memberikan Allah dan
negara hanya berkewajiban untuk menjaga implementasi dari Hak Kebebasan
Beragama tersebut.

Hak
Kebebasan Beragama dalam dalam pandangan Martin Luther seorang tokoh Reformasi,
secara bersamaan juga merupakan hak setiap orang untuk menafsirkan Alkitab
dengan cara mereka sendiri sesuai dengan hati nuraninya, pada waktu itu tidak
setiap orang boleh membaca Alkitab dan menafsirkannya, Dan tidak setiap orang
boleh tidak setuju dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja.

[36]

.
Sehingga bidat didalam sejarah
keKristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja dengan memakai tangan
negara. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan beragama
dalam perspektif Kristiani. Selama bidat-bidat Kristen atau bidat-bidat agama
lain tetap melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kebebasan beragama bagi
kelompok di luar bidat tersebut, maka keberadaan mereka tidak boleh dihalangi
oleh orang Kristen, baik oleh kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan
menggunakan kekuasaan pemerintah. Memang tidak ada bentuk pemerintahan yang
pasti yang diperintahkan oleh Alkitab untuk menjamin Hak Kebebasan Beragama.
Dalam negara agama yang mampu menegakkan
keadilan Allah dalam hukum
pemerintahannya kebebasan beragama akan dapat terlaksana dengan baik. Walaupun
dalam sejarah umumnya negara agama tidak mampu toleran dengan umat beragama
lain, hal ini dikarenakan memang negara sangat mudah untuk disimpangkan.
Kebebasan beragama umumnya lebih dapat terjaga dalam Negara Demokrasi yang
mengakui hak-hak individu, Pluralisme agama dan Sekularisme yang tidak berpihak
pada agama tertentu, sehingga usaha untuk mengawal kebijakan pemerintah dalam
menegakkan hukum yang adil melibatkan peran serta seluruh masyarakat, sehingga
tidak mengherankan dalam Negara Demokrasi proteksi HAM lebih terjaga, walaupun
tidak selalu demikian. Dalam negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara
Demokrasi namun tidak menghargai Pluralisme agama, kebebasan beragama
seringkali tetap terbelenggu, karena adanya usaha agama untuk memiliki akses
yang lebih besar dalam pemerintahan dan kemudian tidak perduli apakah
tindakannya merupakan sesuatu yang bersifat diskriminatif terhadap agama lain.

Apapun bentuk
pemerintahan, yang terutama diperlukan dalam penegakkan kebebasan beragama
adalah pemisahan antara negara dan agama. Pemisahan tersebut harus terjadi
karena negara mempunyai kedaulatan yang berbeda dengan gereja. Negara
seharusnya menyadari bahwa kekuasaannya berasal dari Tuhan dan harus
menjalankan fungsinya sesuai apa yang telah Tuhan tetapkan, dimana negara harus
menjaga institusi yang ada, termasuk individu-individu untuk tidak melampaui batas kekuasaan mereka,
sehingga tidak terjadi pembelengguan terhadap hak-hak institusi atau individu
lain. Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik apabila memiliki
toleransi terhadap Religious Pluralism.

[37]


Negara juga harus menjamin kedaulatan individu (Sovereignty of individual
person), karena setiap individu berkedudukan sebagai seorang raja dalam hati
nuraninya, kecuali dari semua kewajiban-kewajibannya.

[38]

Manusia
memiliki “Absolud Liberty of
Conscience” baik untuk beragama maupun tidak sebagaimana dinyatakan dalam
Deklarasi Universal HAM. Pengakuan adanya kedaulatan individu ini merupakan hak
asasi yang paling utama dan negara harus menjaga hak-hak ini, baru dapat
dikatakan bahwa ada proteksi HAM dalam suatu negara. Kemerdekaan hati nurani
ini juga merupakan akar dari “Civil Rights”.

[39]

IV. Kesimpulan.

Pengakuan
kebebasan beragama dalam perspektif kristiani mempunyai cakupan yang lebih luas
dari Deklarasi Universal HAM, Karena keKristenan bukan saja mengakui setiap
individu mempunyai hak untuk memilih agama dan kepercayaan, dimana ada
perbedaan antara agama dan kepercayaan dan keputusan pemilihan tersebut
didasarkan pada pikiran dan hati nurani manusia. Menurut pandangan Kristen
semua manusia beragama, dan semua manusia berhak berdasarkan kedaulatan
individunya sendiri untuk memilih agama maupun melepaskannya tanpa boleh
dihalangi oleh negara. Sebaliknya negara harus menjamin kebebasan individu untuk
dapat menjalankan kekuasaanya, tanpa menggangu hak-hak orang lain.



[1]

Davies,
Peter, Hak-Hak Asasi Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1994), h.vii

[2]

Lihat
Davies, Peter, Hak- Hak Asasi Manusia…,
h.xvii

[3]

Kita
dapat menelusuri asal-usul hak-hak asasi manusia itu kepada teori-teori
filsafat tentang “hukum kodrati” suatu hukum yang lebih tinggi daripada hokum
positif Negara. Menurut teori ini, individu sebagai manusia membawa dalam
dirinya sendiri sejak lahir hak-hak asasi tertentu yang tidak dapat dihilangkan.
Weissbrodt, David, Hak-Hak Asasi Manusia:
Tinjauan Dari Perspektif Kesejarahan,
h. 2. Dalam Davies, Peter, Hak-Hak asasi Manusia…,h.2

[4]

Nickel,
W.James, Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama,1996), h.261

[5]


Howard,E.Rhoda, HAM Penjelajahan Dalih
Relativisme Budaya,
( Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti,2000),h.19

[6]

Gunawan
Setiardja, Hak-hak asasi Manusia
Berdasarkan Ideologi Pancasila
, (Yogyakarta: Kanisius,1993), h.83

[7]

Peter davis, Hak-Hak asasi Manusia …,h.8 Lihat Clack, George (ed), Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Sinar
harapan,1998).h.4. Teori Locke itu mulai dengan suatu keadaan alam pra sosial
dimana indvidu-individu yang sama memiliki hak-hak kodrati akan kehidupan,
kebebasan, dan harta warisan. Namun karena tiadanya pemerintahan, hak-hak ini
sedikit saja nilainya. Hak-hak itu hampir-hampir mustahil dilindungi dengan
cara tindakan individu, dan pertengkaran-pertengkaran mengenai hak-hak itu
sendiri merupakan penyebab konflik yang hebat. Oleh karena itu, rakyat membentuk
masyarakat, dan masyarakat menciptakan pemerintahan guna memungkinkan mereka
sendiri menikmati hak-hak kodrati mereka. Pemerintah menurut Locke, didasarkan
pada suatu kontrak social antara penguasa-penguasa dengan mereka yang dikuasai.

[8]


Davidson, Scott, Hak-hak Asasi Manusia,
( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1999), h. 2

[9]

Pasal 2
Deklarsi Perancis menyatakan bahwa: Tujuan masyarakat politik adalah
mempertahankan hak-hak manusia yang alami dan yang tidak dapat dignggu gugat.
Hak-hk ini meliputi kebebasan, milik, keamanan dan prlawann menentang
penindasan. Gunawan Setiarja, Hak-hak asasi Manusia…, h.84

[10]

Paul,
S. Baut dan Benny Herman K (ed),
Kompilasi Hak Asasi Manusia
, ( Jakarta: YBHI, 1998), h. 5

[11]

Gunawan
Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia…,h.74

[12]


Davidson, Scott, Hak-hak Asasi Manusia…,
h.2

[13]


A.M.Fatwa, Hak-hak Asasi Manusia,
Pluralisme Agama Dan Ketahanan Nasional,
h.28. Dalam Anshari Thayib dkk (ed), HAM Dan Pluralisme Agama, ( Surabaya:PKSK),
h.28

[14]

Franz
Magnis Suseno, Hak Asasi Manusia Dalam
Theologi katolik Kontemporer
, h.86. Dalam Shobirin Nadj, Naning Mardinah (
ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, ( Jakarta:
Cesda LP3ES), h.86

[15]

Franz
Magnis Suseno, Hak Asasi manusia …,
h.87

[16]


Ravitch, Diane dan Thernsrom, Abigail (ed), Demokrasi:
Klasik Dan Modern
, ( Jakarta:
Yayasan Obor,2005),h.54-71

[17]

Davies
Peter, Hak Asasi Manusia …, h.35

[18]

Barulah
seusai malapetaka perang dunia ke II, hukum hak asasi manusia Internasional
berkembang dengan cara yang mantap dan jelas, kekejaman NAZI terhadap
penduduknya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usaipun sekutu telah
memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup komitmen untuk
melindungi hak asasi manusia, David, Scott, Hak
Asasi
…, h.15

[19]

A.
Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusia…,h.85

[20]

Baehr,
Peter.R, Hak-hak Asasi Manusia dalam
Politik Luar Negri
, ( Jakarta:
Yayasan Obor), h. 6

[21]

Nickel,
James.W, Hak Asasi Manusia, (
Jakarta: Gramedia Pustaka Utam,1996), h. 262-265

[22]

Gunawan
Setiarja, Hak-hak Asasi…, h.87

[23]

Huber,
Wolfgang, Human Rights and Biblical Legal
Thought
, h.58, dalam. White, John and John D. Von der Veyner, Religious Human Rights in Global
Perspectives. Religious Perspectives,
( London: Martinus Nijhoff
Publisher,1996), h. 58

[24]

Hammer,
Leonard.M, The InternationalHuman Rights
to Freedom of Conscience,
(Dartmouth:
Ashgate,2001), h.14-15

[25]

Tamrin
Aamal Tomagola, Komunalisme Berbaju
Nasionalisme
, makalah seminar mengenang 100 tahun Dr. Yohanes Leimena. Jakarta,
Balai Pustaka, 24 September 2005.

[26]

Lihat
Durham, W.Cole, Perspectives on Religious
Liberty: A Comparative Frame work,
dalam. White John and John D. Von der
Veyner, Religious Human Rights in Global
Perspectives, Legal Perspectives
, (London: Martinus Nijhoff
Publisher,1966), h. 3-12

[27]

Locke,
John, A Letter Concerning Toleration,
h.55, dalam. Revitch, Diane & Thernstrom, Abigail (ed), Demokrasi Klasik dan Modern, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2005), h. 55

[28]


Revitch, Dianne & Thernstrom, Abigail, Demokrasi…,
h.61-63

[29]

Thomas
Santoso, KekerasanPolitik Agama, h.6
dalam, Thomas Santoso, Kekerasan Agama
Tanpa Agama,
( Jakarta: Pustaka
Utan Kayu, 2002), h.6

[30]

Hammer,
Leonard.M, The International Human Rights…,h.8-12

[31]

Thomas
Santoso, Kekerasan …,h.6

[32]


Bandingkan. Greidanus, Sidney, Human
Rights in Biblical Perspectiv
e, Calvin Theological Journal:5-31

[33]


Bandingkan. Greidanus, Sidney, Human
Rights in Biblical perspective
…h.28-31

[34]


Tierney, Brian, Religious Rights…h.242

[35]


Stahnke, Tad and J.Paul Martin, Religion
and Human Rights: Basic Documen
. Chafter 35. “The Catholic Shurch: Declaration on Religious Freedom-Dignitatis
Humanae
(1965), (New York: Center For Study Of Human Rights, Columbia
University,1998), h. 205-219

[36]

Ozment,
Steven, “Martin Luther on Religious
Liberty.” Dalam Religious
Liberty
in
Western Thoght,
ed. Noel B.Reynolds and W.Cole Durham, jr, (Georgia: Sclolars Press,1996), h.
75-82

[37]

Kuyper,
Abraham, Lectures on Calvinism. Chafter III: Calvinism and Politics,
(Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 1999), h. 78-109

[38]

“Every
man stands a king in his conscience, a soverign in his own person, exempt from
all responsibility” Kuyper, Abraham,
Lecture on Calvinism
…h.107

[39]

Murray,
John Courtney, Religious Liberty:Catholic
Struggles with Pluralism
,Chafter 2:
Problem of Religious Freedom
, ed. J. Leon Hooper, S.J. (Louisville,
Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1993), h.192

Kategori: Teologi

Topic Blog: Teologi dan Alkitab

Keywords Blog: Alkitab, hak., Kebebasan beragama