Kekristenan di Bali

Dari In-Christ Wiki, Wiki Kristen Indonesia
Langsung ke: navigasi, cari

KONON di perpustakaan Vatikan, Roma, tersimpan sepucuk surat dari Raja Klungkung, penguasa Bali pada awal abad ke-17. Surat yang ditulis di daun lontar itu merupakan undangan dari Raja Klungkung kepada para pastor Portugis di Pusat Katolik Malaka agar datang ke Bali. Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat .... Saya pun akan senang bila imam-imam (pastor) datang ke sini, agar siapa saja yang menghendaki, boleh masuk Kristen, kata Raja Klungkung. Surat itu persisnya bertahun 1635. Undangan raja Bali itu sudah tentu mendapat sambutan baik dari pemuka-pemuka agama Katolik di Malaka, yang ketika itu dikuasai Portugis. Buktinya, tak lama setelah itu, persisnya 11 Maret 1635, datanglah dua pastor dari Malaka. Mereka itu adalah Pastor Manuel Carualho S.J. dan Azeuado S.J. Inilah awal persentuhan masyarakat Bali dengan misionaris Katolik. Setidaknya undangan Raja Klungkung itu merupakan peristiwa pertama yang terekam oleh sejarah. Sayangnya, tidak ada catatan tentang hasil kunjungan kedua misionaris Katolik itu selama berada di Bali. Atau, tentang bisa diterima atau tidaknya agama Katolik oleh masyarakat Bali ketika itu. Sejarah persentuhan antara misionaris Katolik dan masyarakat Bali yang beragama Hindu itu terputus hingga di sini. Tak ada penjelasan untuk itu, selain dugaan-dugaan. Misalnya, terputusnya sejarah itu karena pemerintah Hindia Belanda pernah menjadikan Pulau Bali tertutup bagi agama Kristen. Itu berawal dari peristiwa terbunuhnya seorang pendeta Kristen (bukan Katolik) pada tahun 1881 di Bali. Larangan ini diulang pada tahun 1930-an. Berapa lama larangan ini berlaku, memang tidak jelas. Pada tahun 1890, yakni sekitar sepuluh tahun sejak larangan itu diberlakukan, sudah ada seorang pastor Katolik yang datang di Bali. Siapa dan apa kegiatannya, tidak diketahui. Dengan kata lain, sejarah perkembangan Katolik di Pulau Dewata Bali masih gelap sampai tahun 1890-an itu. Cerita mulai terang ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pijnacher Hordijk memberi izin pada umat Katolik untuk menempatkan dua imamnya di Buleleng. Ini terjadi pada tanggal 25 Mei 1891. Agaknya, sejak itu Bali mulai terbuka bagi kedatangan pastor Katolik. Yang datang di antaranya Fr. Simon Buis, pengurus sekolah Sunda Kecil di Ende, yang mendapat izin mendirikan sekolah di Bali pada tahun 1920. Lalu, pada tahun 1932-1935, Pastor Yan van der Heyden S.V.D., berkunjung ke Bali. Tapi dua pastor itu belum tercatat, apakah mereka berhasil mendapatkan umat atau tidak. Adalah Pastor Yan Kersten S.V.D., seorang misionaris asal Belanda, yang dianggap pertama kali berhasil menyebarkan agama Katolik di Bali. Pastor Kersten masuk Bali tahun 1935, dan dalam melakukan misinya ia berpegang pada nasihat Mgr. Petrus Noyen S.V.D., seorang pastor di Timor yang pernah berkunjung ke Bali pada 1915. Kata Petrus Noyen, Hanya imam yang sungguh- sungguh rendah hati, sabar, kudus, dan terpelajar yang akan berhasil di tengah-tengah umat Bali. Benar atau tidak nasihat itu dilaksanakan, yang pasti ada catatan bahwa pada tahun itu juga, 1935, Kersten berhasil membaptis dua orang Bali di Desa Tuka, sekitar 30 kilometer dari Denpasar. Mereka itu adalah I Made Bronong Barnabas dan I Wayan Diblug Timotius. Perpindahan agama itu, seperti diakui I Wayan Diblug, kini 90 tahun, karena agama Katolik menawarkan kesimpelan, hingga ia merasa tak terbebani. Tak lama kemudian, langkah I Made dan I Wayan itu diikuti oleh 16 orang Bali lainnya. Tak jelas benar keterangan I Wayan Diblug, yang nama baptisnya Timotius itu, mengapa ia masuk Katolik. Kata kesimpelan dan tak terbebani tak bisa ia terangkan maksudnya. Sejauh yang bisa ditafsirkan, mungkin I Wayan Diblug -- ketika itu berusia sekitar 30 tahun -- bersahabat dengan Pastor Kersten, dan karena persahabatan ini ia mau masuk Katolik, sebab ia menarik kesimpulan antara Katolik dan bukan Katolik itu sama saja. Yang pasti, masuk Katoliknya sejumlah orang Bali menarik perhatian raja Badung. Soalnya, kata Diblug, pembaptisan itu dianggap sebagai pelanggaran besar. Itu sebabnya, ketika itu, muncul reaksi keras dari masyarakat Hindu di Bali, yang menyebabkan raja Badung memanggil para pemeluk baru Katolik itu. Tapi, apa tindakan raja terhadap mereka, tidak jelas. Dan sebenarnya, masuknya orang Bali ke agama Katolik tidaklah se-simpel dugaan I Wayan Diblug. Pada tahun 1937, pernah terjadi persengketaan soal kuburan. Ketika itu, cerita Diblug, dua orang umat Kristen meninggal. Umat Hindu keberatan jika Men Sampreg, salah seorang yang meninggal itu, dimakamkan di kuburan milik umat Hindu. Untunglah ketika itu pemerintah kolonial Belanda segera turun tangan, menguburkan dua Katolik dari Tuka itu di Denpasar. Bagaimana Belanda bisa menyuruh orang Bali menguburkan orang Katolik? Mudah saja, yang diperintahkan melakukan penguburan itu orang-orang tahanan. Anehnya, meski ada hambatan seperti itu, jumlah pengikut Pastor Kersten terus bertambah. Bersamaan dengan peresmian gereja pertama di Bali, di Desa Tuka, tahun 1937, Kersten mempermandikan 51 orang Bali. Gereja pertama itu diberi nama Satu Allah Tri Murti (kini bernama Gereja Tri Tunggal Maha Kudus), dan segera menjadi titik sentral penyebaran agama Katolik di Bali. Sejak gereja itu berdiri, jumlah umat Katolik di Desa Tuka terus berkembang. Tercatat pada tahun 1938, umat Katolik di desa itu sudah lebih dari 250 orang. Sedangkan di desa Gumbrih, sekitar 60 kilometer dari Denpasar, 30 orang disebutkan sebagai katekumen, orang-orang yang dicalonkan akan dibaptis. Pastor Kersten tampaknya memang menghayati hidup di Bali. Ia sempat menyusun kamus bahasa dan tata bahasa Bali. Tapi mungkin misionaris satu ini belum siap benar-benar bersatu dengan Bali. Maka, ketika ia mulai capek karena usia, ia mengajukan permohonan pulang ke Belanda. Itu dikabulkan. Sebagai penggantinya ditunjuklah Pastor Simon Buis, juga seorang misionaris dari Belanda. Pastor Simon Buis inilah yang mengawali memadukan budaya Bali dalam tata cara agama Katolik. Ini tercermin pada keinginan Pastor Simon Buis untuk membangun sebuah perkampungan yang bersuana tradisional Bali. Untuk itu, Pastor Simon Buis mengajukan permohonan pada Residen Bali di Singaraja agar diberi tanah hutan di bagian barat Bali. Permintaan itu tak dikabulkan, meskipun Pastor Simon Buis telah berkali-kali mengajukannya. Bisa dimaklumi, sebab mayoritas warga Belanda adalah pemeluk Protestan. Maka, tanah seluas sekitar 200 hektar itu akhirnya diberikan kepada umat Protestan. Kawasan ini ini bernama Desa Blimbingsari, yang mayoritas warganya memang Protestan. Tentu saja, tutur Romo Shadeg, seorang pastor di Paroki Tuka, Pastor Simon Buis kecewa. Tapi Pastor Simon Buis tak putus asa, dengan nekat ia menghadap lagi ke dewan raja-raja Bali meminta sebidang tanah. Akhirnya, permintaan Pastor Simon itu dikabulkan juga. Ia memperoleh tanah sekitar 200 hektar di kawasan hutan Pangkung Sente, yang disebut Desa Palasari Lama. Syahdan, suatu hari, bulan September tahun 1940, berangkatlah Pastor Simon Buis bersama 18 kepala keluarga dari Dusun Tuka dan enam kepala keluarga dari Dusun Gumbrih menuju hutan Pangkung Sente. Menurut I Wayan Diblug, orang Bali dari Tuka yang pertama dibaptis, di antara 18 kepala keluarga itu delapan kepala keluarga orang Katolik dan 10 kepala keluarga orang Hindu. Dua bulan kemudian, tepat pada ulang tahun ke-48 Pastor Simon Buis, berangkat pula 22 kepala keluarga ke Palasari. Mereka dari Desa Tuka, Desa Beringkit, dan Desa Gumbrih. Maka, mulailah mereka bersama-sama merambah hutan. Pastor Simon sempat jatuh sakit, tapi ia tetap memimpin umat merambah hutan, mengajar bercocok tanam, dan memberi bimbingan agama. Untuk menghindari serangan binatang buas yang masih banyak berkeliaran di hutan Pangkung Sente itu, mereka membangun pondok kecil di pohon besar. Itu berjalan kurang lebih selama satu tahun, yakni setelah perambahan hutan selesai. Namun, setelah didiami beberapa tahun, terasalah bahwa daerah seluas 200 hektar itu tidak cocok untuk tempat tinggal. Daerahnya bergunung-gunung dan tidak begitu subur. Pastor Simon Buis lalu mengajukan permintaan lagi ke dewan raja-raja. Permintaan itu dikabulkan. Dewan raja-raja memberikan tanah untuk warga Palasari Lama sebuah lokasi seluas 200 ha juga, yang tak jauh dari hutan Pangkung Sente. Lokasi baru inilah yang sampai sekarang disebut Desa Palasari. Kebetulan, Palasari (baru) subur. Ini menarik orang pindah ke tanah baru ini. Maka, cita-cita Pastor Simon Buis membangun sebuah perkampungan umat Katolik yang bersuasana tradisional Bali pun mendapatkan jalan. Di desa ini, meskipun mereka beragama Katolik Roma, orang-orang Bali itu tetap memakai adat dan tradisi Bali, baik dalam berpakaian, berbahasa, maupun dalam mendirikan bangunan. Satu hal saja yang sulit di-Bali-kan. Yakni pakaian imam yang mempimpin liturgi (ibadah). Menurut Paskalis Edwin, pastor dari paroki Palasari, pernah ada percobaan, imam pemimpin liturgi memakai pakaian Bali. Tapi rupanya jemaat, juga imamnya sendiri, merasa tidak srek. Maka, kembalilah digunakan jubah seperti imam Katolik di Eropa. Pun, konon, Vatikan pernah menegur soal adat Bali di kalangan umat Katolik Bali itu. Tapi pertanggungjawaban para pastor di Bali bisa diterima, hingga gagasan Pastor Simon Buis itu malah didukung oleh Vatikan. Orang Bali mungkin memang sangat khas. Menurut Profesor Doktor I Gusti Ngurah Bagus, seorang antropolog, orang Bali punya daya tahan terhadap gempuran berbagai macam budaya dan agama untuk tak kehilangan kebaliannya. Soalnya, keterikatan mereka terhadap adat-istiadat Bali sangat membumi. Mereka merasa aman dan nyaman hidup dalam adat Bali, dalam keluarga Bali, dalam kampung Bali, dalam kesenian Bali. Jika soal-soal ini tak diusik, apakah mereka diminta masuk Hindu atau Islam atau Kristen, itu, meminjam kata-kata I Wayan Diblug, warga Tuka yang pertama kali masuk Katolik, itu simpel saja. Julizar Kasiri (Jakarta), Putu Fajar dan Putu Wirata (Denpasar)

  • Sumber: Majalah Tempo 22 Mei 1993
  • Judul asli: Menjadi katolik itu simpel saja
  • Situs: Majalah Tempo Online

Baca versi Inggrisnya / Read the English translation


Konversi agama sebagai penyakit kronis

Kasus konversi agama seperti sebuah penyakit kronis tetapi tidak banyak pihak yang menyadarinya. Bali yang dijadikan ladang misi sejak tahun 1630, mengalami panen besar sejak adanya pembabtisan bersejarah dan menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember 1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil dipanen oleh misi protestan, sementara Katolik diperkirakan mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis dan dinaungi oleh badan misi dunia.

Sejumlah sumber mengungkapkan, konversi agama di Bali terbagi atas tiga periode. Periode pertama tahun 1597- 1928, periode kedua tahun 1929-1936 berdasarkan efektifitas usaha penginjilan yang dilakukan. Kemudian periode terakhir 1937-1949 sebagai masa persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali.

Periode pertama lebih banyak merupakan periode persiapan, di mana sejumlah badan misi dunia, para zendeling (misi Kristen) maupun misionaris (misi Katolik) mempelajari dan datang ke Bali. Sejumlah pendeta datang ke Bali dengan menyamar sebagai turis seperti Dr. H.W. Medhurst dan Dr. W.R. Baron Van Hoevall. Selain itu sejumlah peneliti dikirim sebagai tahap persiapan seperti Van Der Tuuk. Ia dikirim oleh Perhimpunan Missi Utrecht (U.Z.W.) yang bekerja sama dengan Lembaga Alkitab Belanda (N.B.G.). Van Der Tuuk bekerja di Bali tahun 1870–1873, di samping menerjemahkan injil juga membuat kamus bahasa Bali.

Sejumlah ahli yang sesungguhnya merupakan misionaris ini mempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya sistem adat, dilaporkan oleh para pekerja Kristen di Bali seperti Van Hoevall, sejak tahun 1846, sudah banyak masyarakat Bali yang tidak puas dengan system adat dan agama. Ditulis Hoeval banyak orang Bali merasakan sistem kasta yang ada dalam agama Hindu Bali tidak adil dan banyaknya upacara dan kewajiban sehubungan dengan penyelenggaraan upacara dan persembahyangan menyebabkan mereka jadi miskin. Inilah yang dipandang oleh Hoeval sebagai celah masuk untuk menyebarkan kekristenan di Bali.

Orang Bali pertama yang menjadi Kristen.

Namun walau zending terus bergulir di Bali dengan dikirimnya sejumlah penginjil, upaya pada tahap awal gagal. Tiga Pekabar Injil Belanda yang dikirim, yaitu van Eck, de Vroom, van der Jogt setelah 13 tahun usaha mereka, tahun 1873 hanya berhasil membabtis satu orang Bali yakni I Goesti Wajan Karangasem dari Bali Timur, Jagaraga Singaraja.

I Goesti Wajan Karangasem ini yang diberi nama baptis Nicedemus. Namun karena tidak kuat menanggung beban pengucilan dari keluarga dan banjarnya, ia diduga membunuh De Room tahun 1881. Sejak kejadian berdarah yang menggemparkan itu, Belanda menutup aktivitas penginjilan dan Bali tertutup untuk waktu sekitar 50 tahun. Selain itu melalui perdebatan panjang, Belanda juga menerapkan kebijakan kebudayaan dan pendidikan yang dikenal dengan Baliseering (Balinisasi) yang dimulai tahun 1920-an yang menyulitkan para penginjil mendapatkan surat ijin untuk masuk ke Bali.

Walau demikian badan misi tidak menyerah. Di tengah tertutupnya aktivitas penginjilan, penginjil pribumi Salam Watias yang berasal dari Kediri, bekerja untuk Gereja Kristen Jawi Wetan (G.K.J.W) datang ke Bali untuk menjual buku-buku Kristen. Watias menggunakan pendekatan cultural dan mendekati orang-orang Bali karena sesama “Wong Majapahit.” Ia menjual buku-buku tersebut hingga ke pelosok-pelosok desa khususnya di Bali utara.

Karena orang Bali mempunyai kesenangan membaca pelajaran-pelajaran agama, maka ribuan buku terjual. Buku yang paling digemari adalah Injil Lukas yang ditulis dalam bahasa Bali. Tidak tertutup kemungkinan para pendukung Surya Kanta yang tidak puas dengan kondisi riil adat dan agama Bali menjadi pembeli dari buku Salam Watias.

Sekitar 80 orang Bali akhirnya minta dibabtis oleh Watiyas. Namun pekerjaan yang dinilai sangat berhasil dilakukan oleh Dr. R.A. Jaffray, Ketua C.M.A., dengan mempekerjakan Penginjil Tiongkok yang bernama Tsang Kam Fuk, yang kemudian menyebut dirinya Tsang To Hang. Tsang To Hang berhasil masuk ke Bali tahun 1931 setelah CMA berhasil mendapatkan surat ijin khusus untuk menginjil orang-orang Tionghoa di Bali. Mereka telah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan surat ijin masuk ke Bali, tetapi karena ijin itu tidak kunjung didapatkan, mereka menyiasati dengan meminta ijin untuk penginjilan terbatas pada orang-orang Tionghoa dan Belanda akhirnya mengabulkan permohonan itu.

Pan Loting.

Setelah satu setengah tahun upaya mereka di Denpasar hanya mampu membawa empat orang Tionghoa masuk Kristen, To Hang secara sadar melanggar surat ijin yang diberikan dan mulai menginjili orang-orang Bali.

Melalui seorang wanita Bali, istri seorang Tionghoa, ia berkenalan dengan beberapa orang Bali yang ingin keluar dari tradisi Hindu-Bali. Panen besar pun diperoleh dengan pembatisan yang menggemparkan Tanggal 11 November 931, Dr. Jaffray membabtis 12 orang Bali yang dipimpin oleh Pan Loting, di Sungai Yeh Poh.

Pan Loting adalah dukun sakti dan tokoh leak dari Buduk, yang oleh To Hang disebut sebagai tukang sihir. Pan Loting yang bernama asli I Made Gepek memiliki pengaruh yang luas karena ia dianggap orang sakti balian yang bisa membuat maupun menyembuhkan penyakit. Awalnya ia beradu ilmu dengan Tsang To Hang, tetapi kalah dan berikutnya debat teologis yang berakhir pada kekalahan sang tokoh leak.

Sampai To Hang diusir Belanda tahun 1933 ia telah berhasil membaptiskan sekitar 260 orang Bali. Setelah itu, Bali semakin terbuka dengan penginjilan dan puluhan badan misi terus bekerja di Bali untuk menambah pengikut dan jumlah gereja.

Dewasa ini, penginjilan bukan saja dilakukan dengan upaya propaganda, tetapi juga melalui badan-badan dan kegiatan besar yang dikemas menarik seperti Bali Gospel Festival yang digelar di GOR Ngurah Rai Denpasar. Kegiatan ini berupa penyembuhan masal dengan menggunakan doa-doa yang diisi dengan lagu-lagu pujian, ceramah dan persekutuan Kristen dari berbagai daerah di Bali.

Sejarah Kelam Kekristenan diBali

Agama Kristen menyadari adanya sejarah kelam kekristenan di Bali, di mana Kristen bukan saja lambat diterima di Pulau Dewata, tetapi dengan penolakan keras.

Ketua Sinode GKPB Bali saat ini Pdt. Drs. I Wayan Sudira Husada.MM mengatakan Kristen tengah berupaya memperbaiki sejarah kelam kekristenan di Bali, yakni kekristenan masuk dengan cara kasar dan menolak secara total sistem adat, sehingga mendapat pertentangan keras oleh orang Bali yang setia dengan adat. Dr. Jaffray dan Tsang To Hang meminta pemeluk kristen baru untuk membongkar sanggah karena dianggap pemujaan berhala yang sia-sia, tempat setan dan iblis dan melarang mengambil bagian pada kegiatan adat. Hal ini tentu saja menimbulkan ketersinggungan orang Bali yang pada akhirnya menjadi konflik berkepanjangan.

Penghancuran merajan/sanggah ini oleh Bishop Sudira merupakan kekeliruan dan kekristenan lebih bisa diterima jika dilakukan dengan cara-cara yang lebih lembut dan santun. Sehingga tidak heran di Gereja Abianbase, Mengwi, setiap sebulan sekali jemaat datang ke gereja mengenakan pakaian adat Bali, kebaktian dilakukan dengan bahasa Bali. Demikian pula dengan jemaat di gereja di Buduk dan Dalung.

Selain itu mereka juga turut melestarikan budaya Bali seperti gamelan dan tari Bali. Upaya ini sebagai jalan untuk meluruskan sejarah kelam kekristenan, di mana pada tahap awal Kristen identik dengan Eropa dan menganggap kehidupan orang Bali sarat dengan pemujaan berhala yang sia-sia, kabut gelap sehingga harus ditolak.

Faktor Utama Penyebab Konversi Agama di Bali

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sekurangnya terdapat delapan factor utama penyebab orang Bali melakukan konversi, yakni :

Pertama. Ketidakpuasan atas system adat dan agama.

Sejak dulu sebagian kecil masyarakat Bali menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem adat dan agama. Selain itu, kelompok - kelompok yang ada di masyarakat memperlihatkan kepekaan yang berbeda terhadap doktrin keagamaan tertentu. Kerumitan banten yang dikaitkan dengan ekspresi keimanan, aturan adat yang kaku serta tidak adanya kelonggaran bagi anggota masyarakat untuk menjalankan ajaran agama menjadi keluhan yang belum terjawab. Hal ini menimbulkan goncangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan anomi. Para penderita deprivasi ekstrim dan anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan keselamatan.

Kedua. Krisis individu.

Manusia kerap mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup, keretakan keluarga, perceraian, korban kekerasan atau perasaan berdosa karena merasa telah melakukan perbuatan tercela. Orang yang mengalami krisis cenderung mencari nilai baru, guna mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Agama Kristen termasuk agama yang menawarkan pesan keselamatan yang membawa seseorang pada rasa damai sejahtera. Perpindahan agama diharapkan mampu membawa perubahan dalam hidupnya.

Ketiga. Ekonomi dan lingkungan sosial.

Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang pindah agama. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 diiringi dengan gelombang wabah dan kegagalan panen menimbulkan paceklik hampir di seluruh Bali. Hal itu dimanfaatkan oleh badan misi Kristen untuk memberikan bantuan seperti gandum dan alat-alat dapur maupun memberikan keahlian dengan tujuan imbalan masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Bali karena belitan kemiskinan bersedia masuk Kristen dengan harapan mendapatkan bantuan dan terjadi peningkatan ekonomi. Kristen memiliki lembaga ekonomi yang mapan yakni Maha Bhoga Marga (MBM) yang memberikan kredit ringan bahkan bantuan Cuma Cuma untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil. MBM berdiri sejak 15 Januari 1963 yang pendanaannya berasal dari diakonia (dana yang terhimpun dari umat Kristen). Selain itu masih banyak lembaga sosial yang memiliki misi serupa, selain badan penyiaran seperti radio Kristen.

Keempat. Pengaruh ilmu kebatinan, Kehausan rohani dan janji keselamatan.

Ilmu kebatinan yang diajarkan Raden Atmaja Kusuma di Singaraja menjadi loncatan awal bagi kekristenan di Bali. Ajaran mistik ini sepintas mirip dengan ajaran Kristen di mana pencapaian spiritual dapat dicapai dengan pencerahan rohani, bukan dengan upacara yang besar. Umat Hindu yang mengalami kehausan rohani dulunya memang sulit mendapatkan jawaban, karena sedikitnya tokoh yang bisa memberikan pelayanan rohani.

Kelima. Keretakan keluarga dan urbanisasi.

Keluarga yang tidak harmonis mendorong terjadinya konversi. Anggota keluarga yang merasa terlempar dari ikatan keluarga dan merasa sebatang kara tanpa ada yang memperhatian cenderung akan mencari komunitas baru yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi dalam kehidupannya.

Keenam. Perkawinan dan urutan kelahiran dalam keluarga.

Perkawinan seringkali menimbulkan terjadinya konversi agama. Wanita Bali yang kawin dengan pria Kristen sebagian besar akan mengikuti agama suami karena sistem patrialistik dari masyarakat Bali. Namun tidak sedikit justru pria Hindu yang mengikuti agama calon istrinya. Selain itu, urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh. Di mana anak laki-laki yang bukan merupakan pewaris keluarga lebih mudah untuk beralih agama karena tidak terikat tanggung jawab dalam keluarganya. Juga mereka bukan penanggung jawab utama baik dalam melakukan pengabenan bagi orang tuanya maupun mengurus sanggah dan warisan keluarga.

Ketujuh. Kegiatan penginjilan yang agresif.

Kristen memang merupakan agama missioner. Tugas penginjilan bukan hanya dilakukan oleh penginjil profesional, tetapi juga oleh seluruh gereja dan jemaat. Banyak warga yang masuk Kristen karena kegiatan penginjilan yang mempropagandakan kehidupan yang lebih baik.

Kedelapan. Lemahnya pemahaman teologi (Brahmavidya).

Masyarakat Hindu di Bali yang menjalani agama cenderung dengan berbagai upacara menyebabkan teologi tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pelajaran agamanya. Ketidaktahuan ini tentu saja merugikan dialog antar pemeluk agama maupun dengan penginjil yang memang mapan dalam berdebat. Delapan factor utama diatas sesungguhnya berpangkal pada lemahnya pemahaman atas ajaran Hindu, sehingga para converts dengan mudah meninggalkan Hindu.

Dialog yang intensif.

Delapan faktor utama itu ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan konversi terjadi karena akumulasi banyak faktor. Dari penelitian yang dilakukan, salah satu konversi bisa terjadi karena perkawinan, ditambah dengan adanya dialog yang intensif dan pembelajaran serta lemahnya pemahaman atas agama Hindu.

Atau dengan terjadinya krisis individu yang tidak mendapatkan jawaban dalam pandangan hidup lama, ditambah dengan lemahnya pemahaman teologi dan kuatnya daya tarik komunitas Kristen yang tidak mengenal sanksi baik moral maupun material seperti dalam sistem adat Bali. Namun sebagian besar converts mengakui tidak pernah belajar Hindu secara baik dan tidak memahami teologi Hindu.

Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama Kristen. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat Kristen yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.

Tulisan ini dipetik dari tesis: Konversi Agama Masyarakat Bali (Studi Kasus Konversi agama Hindu ke Kristen Protestan di Kelurahan Abianbase Kecamatan Mengwi Badung), Ni Kadek Surpi, IHDN Denpasar 2009

  • Judul asli: “Penyakit Kronis” di Bali Manfaatkan Kelemahan Pemahaman Agama dan Pelaksanaan Adat
  • Oleh: Surpi Aryadharma
  • Sumber: Konversi Agama mirror 1

Lihat pula:

Peralatan pribadi