Saya menafsirkan ayat tersebut jika seseorang ingin menikah, maka dia perlu pisah dengan orangtuanya. Penafsiran saya ini berdasarkan pengamatan yang saya lakukan. Seseorang yang menikah dan masih tinggal dengan orangtuanya (maaf), rata2 hidup kurang mandiri karena mungkin dalam pikiran mereka, orangtua mereka akan membantu dalam segala hal sehingga mereka hidup lebih santai dan bergantung pada orang lain.
Selain itu saya juga mengamati bahwa hidup bersama orangtua sesudah menikah, akan menghadapi masalah yang pelik, antara lain dalam mendidik anak. Kakek/nenek mempunyai kecenderungan memanjakan cucu2nya. Sehingga akan timbul konflik apabila kita ingin mendisiplinkan anak2 kita.
Saya kira masih banyak masalah lain seperti konflik hubungan antara orangtua kita dengan isteri kita. Sulit sekali untuk memilih antara orangtua dan isteri apabila terjadi konflik. Karena orangtua yang melahirkan/membesarkan kita. Isteri adalah belahan jiwa yang kita sayangi.
Jadi tekad saya untuk hidup pisah pada saat menikah adalah sesuatu yang tidak saya tawar2. Itu harus. Entah kos atau beli. Cuman saya beriman bahwa saya harus memiliki satu rumah. Kecil pun tidak apa. Karena ‘home sweet home’, yang penting rumah sendiri dan kita penguasa rumah tersebut.
Usaha pencarian rumah tidaklah mudah. Mungkin jika dana cukup, agak lebih mudah. Tapi saya? Tiap bulan saja habis. Tidak ada tabungan. Makanya saya sempat putus asa ketika mengetahui harga2 rumah yang paling murah 30 juta dan DP harus antara 10-20%.
Saya tidak tahu sudah berapa banyak rumah yang saya kunjungi dan selalu berakhir dengan gigit jari. Terakhir saya berkunjung ke suatu perumahan (BIP) di daerah perbatasan Jakarta dan Tangerang.
Sebenarnya tidak sengaja untuk berkunjung ke tempat itu. Saya ke sana karena tersesat cari putaran balik pulang setelah mengunjungi perumahan lain. Dan ketika melihat ada billboard perumahan, saya pikir ah, kenapa tidak mampir. Maka masuklah saya ke perumahan tersebut.
Perumahan ini tidak besar. Tapi ada yang saya senang dari perumahan ini ialah ada jalan khusus menuju perumahan itu dan perumahan tidak terbuka. Artinya hanya satu akses saja sehingga cukup tenang untuk dihuni.
Saya tidak menyadari ketika saya bertanya2 tentang harga rumah, ada seseorang mengamati saya dan akhirnya menghampiri saya. Dia menegur “Sir, masih ingat pada saya?” tanyanya. “Siapa ya?,” jawab saya bingung (karena kurang mengenalinya). “Saya Ricky. Murid Sir, di SIT.” jawabnya menerangkan. “Oh, kamu, Ricky.” jawab saya setelah mengingat2 bahwa saya pernah mengajar bahasa Inggris untuk kelas intensive untuk ke luar negeri.
Akhirnya setelah omong2, saya diberikan Ricky suatu kemudahan. Rumah yang 30 juta, dapat dibayar dengan DP 20% + KPR 80%. Cuman … ada beda yang luar biasa. Yakni saya boleh mencicil DP yang 20% itu menjadi 6 bulan. Dan baru akad KPR pada bulan ke 7.
Wow, luar biasa! Jika saja saya dulu tidak mengajar bahasa Inggris, hingga kini mungkin saya tidak dapat membeli rumah yang saya tempati sekarang.
Dalam blog berikutnya saya akan menyaksikan bagaimana kami bisa pergi ke Disneyland – USA dengan kemudahan dan kenyamanan yang tidak pernah kami bayangkan.
Deny S Pamudji