Indonesia menghadapi krisis ekonomi global (?) menjelang Pemilu 2009




Krisis
ekonomi

Cikal bakal krisis ekonomi global adalah
krisis keuangan global. Munculnya krisis ini tidak lepas dari kenyataan dunia
yang memang meng-global. Liberalisasi keuangan mengakibatkan negara-negara yang
memiliki banyak modal memilih mengeruk keuntungan. Liberalisasi perdagangan
mengakibatkan banyak negara tidak mampu bersaing dengan banjirnya produk-produk
impor yang lebih murah. Tantangan ini sebenarnya dapat disiasati bila kecintaan
terhadap produk lokal bukan menjadi slogan belaka, melainkan menjadi sebuah
tindakan nyata yang sungguh-sungguh dilakukan dengan dilandasai oleh kasih
untuk kebaikan bersama. Ini tidak mudah, mengingat sulitnya konsumen mengekang
sifat konsumerisme berlebih yang jelas-jelas terlihat dalam geliat budaya
instan-urban khas kota besar.

 

Selain kemudahan yang dibawa, Negara kita sebenarnya
jelas-jelas sudah dirugikan karena globalisasi. Negara-negara maju yang lebih
mengedepankan teknologi dan modal sebagai pemacu pertumbuhan ekonominya
kemudian serasa mengungguli negara kita yang sementara ini masih mengandalkan
proyek padat karya dan peningkatan produksi. Oleh sebab itu, dalam mengejar
ketinggalan ini perlu bagi negara kita untuk dengan cerdik melihat
peluang-peluang yang ada dengan semangat mau memperbarui diri dan belajar dari
kesalahan-kesalahan yang ada. Tindakan pembaharuan yang dilakukan harus tetap
mengandalkan kearifan lokal dan bukan latah. Efisiensi menjadi semangat yang
penting dalam membarui struktur-struktur dan sistem yang ada dalam keberanian
bersaing yang cerdas dan tulus.

 

Menuju
Pemilu 2009

Pancasila adalah titik imbang yang arif,
tepat dan teruji dalam cita-cita menghadirkan “Indonesia”. Kemajemukkan bukan
menjadi penghalang, melainkan keuntungan dalam membangun kesetaraan dan
persatuan, manakala Pancasila menjadi ideologi yang diamini dalam perjalanan
membangun bangsa.

 

Pergulatan dan Pergumulan dalam realitas
kemajemukkan sedari selalu sama, yaitu antara keinginan/kepentingan sendiri dan
golongan dengan keinginan/kepentingan bersama dan kebaikan bersama. Reformasi
seharusnya menjadi gerakan yang mengarah kepada penghargaan, kesetaraan,
keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Namun terkadang ia dapat saja diarahkan
menjadi sebuah Revolusi untuk menghadirkan entitas lain selain “Indonesia”. Jika
ini yang terjadi, ongkosnya tidak kecil. Segala sesuatu harus dimulai dari
titik nol, dan saat itu terjadi langkah perjalanan bangsa menjadi seperti langkah
anak balita yang kehilangan ibunya di tengah situasi jalan yang dilalui oleh
kendaraan-kendaraan besar yang siap menyambar dan menggilasnya.

 

Oleh sebab itu dibutuhkan pemimpin-pemimpin
bangsa yang sanggup mengedepankan pembangunan “jembatan” ketimbang “tembok”
dalam realitas kemajemukkan. Pemimpin-pemimpin bangsa harus menjadi pemimpin
yang berani bukan hanya menjadi dinamisator melainkan Reformator dan
Rekonsiliator untuk memilih semua yang benar, semua yang mulia, semua yang
adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan dan patut dipuji melebihi tawaran ruang nyaman yang ada.

 

Pancasila dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia seharusnya menjadi komitmen dan harga mati baginya. Penghargaan
terhadap Hak-Hak Asazi Manusia bukan menjadi jargon baginya. Dalam terang
kebutuhan ini, Pemilu, menjadi wadah yang tidak boleh diabaikan dalam upaya memilih
dan mempercayakan kepemimpinan sebuah bangsa yang besar dan majemuk ini. Dengan
mengandalkan hikmat-Nya, mari kita memilih orang-orang yang sedikit banyak terpanggil
untuk memenuhi kriteria-kriteria di atas tadi. Jaya Indonesia Raya!

 

mampir ke: http://www.essyeisen.com

Kategori: Bahan Renungan Alkitab