Tiada Ketaatan Tanpa Pengorbanan

(Yesaya 50:4-9, Mazmur 31:9-16, Filipi 2:5-11, Markus 14:1-15:47) 

Bagi Rasul Paulus, Yesus Kristus adalah pondasi, pusat, fokus yang memberi arti dan makna bagi hidupnya. Motivasi hidup rohani Paulus tidak lagi dijalani karena ketakutan akan tuntutan hukum-hukum agama belaka. Ketaatan model ini adalah ketaatan karena ketakutan. Ketaatan ini adalah ketaatan semu. Paulus tidak memilih itu. Melainkan, ketaatannya kepada Allah kini ialah karena anugerah kasih sayang Allah yang nyata dalam pribadi Yesus Kristus. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Paulus melihat ketaatan yang benar dan sejati, yaitu ketaatan yang disertai dengan pengorbanan (Flp 2:5-11). Keyakinan ini sungguh memberi damai sejahtera tersendiri bagi hidupnya dan ia mendorong Gereja Filipi untuk memiliki ketaatan seperti Kristus itu, ketaatan yang karena didasari oleh cinta kasih, maka bersedia untuk berkorban, menderita demi kebaikan bersama. 

Waktu itu, ada gejolak dalam kehidupan Gereja Filipi. Dari luar, mereka menghadapi aniaya dari orang-orang yang tidak menyukai keberadaan mereka. Dari dalam, ada beberapa orang anggota jemaat yang saling berseteru satu sama lain (Flp 4:2). Belum lagi guru-guru palsu yang membingungkan Gereja dengan ajarannya (Flp 3:2). Oleh sebab itu menjadi perlu, jemaat ini mengingat kembali “ketaatan yang berkorban”, yang telah ditunjukkan oleh Kristus, agar mereka dapat berdamai dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Nasihat yang Paulus berikan untuk Gereja Filipi ini bukanlah nasihat yang gampangan, karena suratnya ini ia tulis dari dalam rumah tahanan di Roma pada masa tahanannya karena memberitakan Injil Kristus. Paulus menyemangati jemaat dengan teladannya juga. Paulus telah menghidupi juga “ketaatan yang berkorban” itu. 

Kadang di dalam menghadapi kesusahan, rasa malu dan penderitaan, seseorang biasanya bereaksi di “keempat penjuru mata angin” dirinya, demikian diungkap seorang psikolog. Di sisi utara, orang itu menyerang orang lain dengan kebencian dan balas dendam. Di sisi selatan, orang itu menyerang diri sendiri dengan mengambil tindakan-tindakan yang menyakiti dirinya sendiri. Di sisi barat, orang itu dapat menunjukkan kepada orang lain dengan keras segala egonya dan menolak segala kesusahan dan rasa malu. Di sisi timur, orang itu menarik diri dari komunitasnya dan merasa diri tidak berharga. Dalam Yesaya 50:4-9 kita menjumpai, hamba Allah tidak memilih reaksi-reaksi destruktif yang seperti itu. Saat menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan, Ia tidak menyerang balik atau balas dendam, atau menyakiti diri sendiri. Ia tidak menjauh dari komunitasnya, melainkan tetap tinggal di dalamnya. Demikianlah kita mendapati gambaran sosok hamba Allah itu juga dalam diri Yesus Kristus. Ketaatan-Nya adalah ketaatan yang bersedia untuk berkorban (Mrk 14:1-15:47). 

Kristus yang telah menjadi teladan Paulus, kini menjadi teladan kita dalam hal ketaatan kepada Allah. Sebagai pengikut Kristus, kita juga dipanggil menjadi hamba-Nya. Menjadi hamba Tuhan yang taat dan bersedia berkorban memang tidak mudah. Tetapi kepada hamba-Nya yang taat, Allah selalu bersedia memberikan pertolongan yang meneguhkan hati (Yes 50:7,9). Di dalam keteguhan hati itu, hamba-Nya dimampukan untuk terus maju dalam pergumulan melawan kesusahan dalam ketaatan yang berkorban kepada Allah (Yes 50:8, Mrk 13:42). Untuk kita renungkan, seperti apa ketaatan kita kepada Allah akhir-akhir ini? Jika kita menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan dalam menjadi hamba-Nya, bagaimana tanggapan kita?

 

mari mampir ke: http://www.essyeisen.com/

Kategori: Bahan Renungan Alkitab