DIA bukan David Copperfield

BathiQoY's picture

Masih ingatkah Anda akan nama Lee Strobel? Mungkin tidak. Ia adalah wartawan sebuah harian terkemuka Chicago Tribune. Betapa didorong oleh naluri kewartawanannya serta digelitik oleh panggilan imannya, Strobel merasa penasaran oleh pernyataan-pernyataan Charles Templeton, eks penginjil rekan sejawat Billly Graham, yang telah ingkar dari imannya. Maka terbanglah ia ke Boston untuk mewawancarai Peter Kreeft, profesor filsafat dari Boston College, guna memperoleh pandangan yang seimbang. (cf. Lee Strobel, ”THE CASE FOR FAITH”. Zondervan, 2000).

Kali ini ia kembali dibuat geregetan oleh pernyataan beberapa ilmuwan. Di antaranya oleh pernyataan fisikawan terkenal, Max Plank, yang dengan yakinnya mengatakan bahwa kepercayaan pada ”mukjizat” pada satu ketika pasti akan menyerah, gulung tikar, dan dipaksa menyerahkan wilayah garapannya kepada ilmu pengetahuan.

Dengan perkataan lain, menurut Plank, kepercayaan pada ”mukjizat” sekarang ini secara pasti sedang memudar dan meredup, untuk akhirnya padam sama sekali. Sebaliknya, cahaya ilmu pengetahuan kian ”mencorong”, dan akan menjadi penerang satu-satunya bagi segala sesuatu.
Pendapat ini didukung penuh oleh biologiwan Richard Dawkins yang meramalkan, bahwa pada suatu ketika nanti ilmu pengetahuan akan mampu menyibak semua—atau sebagian terbesar—rahasia alam semesta. Dan ketika ini terjadi, sebagai konsekuensinya, manusia bakal tidak memerlukan lagi penjelasan-penjelasan yang nonilmiah. Misalnya, ya itu, kepercayaan akan ”mukjizat”. Sebab, katanya, apa yang sekarang disebut ”mukjizat”, sebenarnya sama sekali bukanlah ”mukjizat”. Tapi disebut demikian, hanya karena manusia belum mampu menjelaskannya secara ilmiah.

PANDANGAN ”provokatif” tersebut, kita tahu, dianut banyak ilmuwan lain. Kenyataan inilah yang mendorong Lee Strobel terbang dari Chicago ke Atlanta, untuk mewancarai William Lane Craig. Siapa William Craig ini? Ia adalah profesor teologi yang diakui luas otoritas, rasionalitas, dan intelektualitasnya. Dan menjadi terkenal terutama karena buku-bukunya yang secara rasional dianggap ”berhasil” mempertahankan validitas ”iman” dan ”mukjizat” di tengah gugatan gencar orang-orang modern.

Begitu berjumpa, Strobel segera ”tembak-langsung”. Pertanyaannya yang pertama adalah, apakah komentar Craig tentang pernyataan Plank dan Dawkins, bahwa orang modern tidak layak dan tidak pantas mempercayai lagi adanya ”mukjizat”.
Jawaban yang ia terima membuatnya terperangah. ”Menurut pendapat saya ,” kata Craig, ”mereka benar”. Setengah tak percaya akan telinganya semdiri, Strobel meminta ketegasan, ”Maaf, apa kata Anda barusan?”.

”Saya berkata bahwa Plank dan Dawkins benar. Sebab yang terjadi adalah beberapa orang telah mengeksploitasi istilah ‘mukjizat’ secara murahan. Mereka jadikan itu sebagai dalih untuk menutupi kecekakan serta kekurangpengetahuan mereka. Lalu mereka juga dengan gampangnya melempar tanggung jawab kepada ‘Allah’, setiap kali mereka tidak mampu menjelaskan sesuatu. Bahwa ini sudah ketetapan Allah-lah. Atau bahwa ini adalah tindakan Allah-lah. Jadi ya terima saja, dan jangan banyak bertanya. Itu sebabnya saya katakan, adalah perkembangan yang baik dan sehat, bila ilmu pengetahuan terus berkembang serta menyingkirkan cara-cara berpikir yang naif, dan simplistik seperti itu”

TAPI ini sama sekali tidak berarti bahwa Craig ikut-ikutan tidak mempercayai ”mukjizat”. Baginya, ”mukjizat” itu nyata.. ”Mukjizat” itu ada. ”Hanya saja,” begitu ia berkata, ”yang saya maksud dengan ‘mukjizat’ bukan itu. Bagi saya, ‘mukjizat’ merujuk pada peristiwa-peristiwa di mana secara sah kita dapat memastikan, bahwa ada kekuatan-kekuatan non-manusiawi yang ikut campur dalam prosesnya. Singkatnya, ‘mukjizat’ adalah yang sepenuhnya dan sesungguhnya merupakan tindakan Allah. ‘Mukjizat’ dalam pengertian ini tidak akan pernah terdesak atau terdepak oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Ia tidak didasarkan pada kekurangpengetahuan manusia. Ia tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan dikuatkan oleh bukti-bukti sejarah”.

Saya 100 persen menyetujui pendapat Craig. Menurut saya, paling sedikit ada tiga hal penting dari apa yang ia kemukakan.
Pertama, janganlah kita secara gampangan murahan memakai kata ”mukjizat”. Sedikit-sedikit ”mukjizat”. Agak aneh sedikit, ”mukjizat” Berhasil menagih utang lama, disebut ”mukjizat”. Lolos dari kecelakaan, disebut ”mukjizat”. Memperoleh promosi, disebut ”mukjizat”. Dan seterusnya.

Tentu saja tidak salah untuk mengakui bahwa anugerah dan kasih Tuhan ada di balik semua peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Tapi serta-merta menyebutnya sebagai ”mukjizat”? O, tunggu dulu!

SAYA khawatir dengan berbuat itu kita tanpa sadar telah ”menyeret” Tuhan dalam perkara-perkara remeh-temeh. Ini jelas bukan tindakan yang memuliakan Allah. Terlebih-lebih tatkala yang terjadi adalah, bahwa sekali pun kemahakuasaan-Nya kita sebut-sebut, namun kita tidak memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan. Melainkan sebagai ”pelayan” dan ”pelaksana” keinginan kita. Ia menagih utang kita. Ia menyembuhkan penyakit kita. Bagaikan satpam Ia mengawal kita. Dan seterusnya.

Bagaimana sekiranya yang dilakukan Tuhan dalam kehidupan kita itu tidak sesuai dengan keinginan kita? Apakah kita masih menyebutnya sebagai ”mukjizat”? Kemungkinan besar, tidak. Kalau begitu, dalam apa yang kita sebut ”mukjizat” itu, keinginan dan kehendak manusia-lah yang dominan. Padahal yang benar adalah, seperti dikatakan oleh Craig, ”mukjizat” sepenuhnya merupakan ekspresi dari kedaulatan, kemaha-kuasaan dan kebebasan Allah. Terlepas dari apakah itu kita sukai atau tidak.

Sebab itu, nasihat saya, jangan asal ”aneh” kita menyebutnya sebagai ”mukjizat”. Tuhan kita bukanlah ”tukang sulap” agung. Ia adalah Allah, khalik dan pencipta segala sesuatu. Berhati-hatilah! Dukun-dukun Firaun – seperti Musa – juga dapat mengubah tongkat mereka menjadi ular (Keluaran 7::10-12). Dan David Copperfield bisa melakukan hal-hal yang lebih ”ajaib” dari yang dilakukan penginjil-penginjil itu.

HAL kedua yang dikatakan Craig adalah, bahwa ”mukjizat” itu ada serta nyata, dan tidak berlawanan dengan intelektualitas atau rasionalitas kita. Ya! Bahkan saya ingin menegaskan, bahwa justru pandangan yang sebaliknya itulah yang tidak mencerminkan integritas intelektuali serta rasionalitas yang bersangkutan!

Orang-orang tersebut selalu mengklaim, bahwa mereka menjunjung tinggi kenyataan dan kebenaran. Tapi mengapa sikap mereka berubah, ketika kenyataan dan kebenaran menunjukkan bahwa ada hal-hal yang memang benar-benar berada di luar jangkauan kemampuan manusia? Yang semata-mata adalah tindakan Allah?

Siapa mengatakan bahwa ”kehidupan” adalah hasil tindakan manusia? Ilmuwan mana dapat menjelaskan ”keberadaan” sesuatu, termasuk diri mereka sendiri? Bukankah yang paling banter dapat mereka katakan adalah, ”Saya tidak tahu, tapi rasa-rasanya saya ”tiba-tiba” ada begitu saja”? Alkitab mengatakan, itulah ”mukjizat” itu. Kita ”hidup”, kita ”berada”, semata-mata karena tindakan Allah – sepenuhnya! Bahkan bukan pula karena bantuan ”doa” pendeta siapa pun!

BAGI orang kristen, kepercayaan akan ”mukjizat” itu penting. Sebab bila kepercayaan ini ambruk, maka seluruh bangunan iman kristiani pun akan ambruk pula. Bagi umat manusia – kristen atau tidak – kepercayaan akan ”mukjizat” juga penting. Sebab bila orang tidak mempercayainya, lalu cuma mau bergantung pada kemampuan manusiawinya, inilah yang disebut oleh Paulus sebagai ”orang yang paling malang” (1 Korintus 15:19). Percaya akan ”mukjizat” berarti percaya, bahwa kita masih punya sumber pengharapan lain di luar daya serta kemampuan manusiawi kita. Bahwa selalu ada ”kemungkinan” dan ”jalan keluar”.

Namun demikian, betapa pun penting, menurut alkitab, ”mukjizat” bukanlah satu-satunya yang penting. Malah bukan pula yang terpenting. Alkitab selalu konsisten dengan prinsip, bahwa ada yang lebih penting dari apa yang diperbuat Allah. Dan itu adalah diri serta pribadi Allah sendiri! Orang-orang kristen yang terlalu menekankan mukjizat ”jatuh” dalam ”bahaya” itu. Mereka datang, karena apa yang dilakukan Allah. Bukan karena ”Allah” adalah ”Allah”.

Itu sebabnya Yesus dengan tegas menolak orang yang bersedia percaya kepada-Nya, dengan syarat Ia melakukan ”mujizat” terlebih dahulu. No way! ”Mukjizat” tidak boleh menjadi alasan dan landasan iman. Allah bukanlah ”David Copperfield” skala besar, melainkan pencipta dan pemilik kita semua. Yang layak kita sembah, bukan karena Ia mengikuti kehendak kita, tapi karena Ia adalah Allah. Menyenangkan atau tidak menyenangkan.

* Rom. 8:38 Sebab saya percaya sekali bahwa di seluruh dunia, baik kematian maupun kehidupan, baik malaikat maupun penguasa, baik ancaman-ancaman sekarang ini maupun ancaman-ancaman di masa yang akan datang atau kekuatan-kekuatan lainnya; 8:39 baik hal-hal yang di langit, maupun hal-hal yang di dalam bumi atau apa saja yang lain, semuanya tidak dapat mencegah Allah mengasihi kita, seperti yang sudah ditunjukkan-Nya melalui Kristus Yesus, Tuhan kita.

Kategori: Konseling Kristen

Topic Blog: Kesaksian

Keywords Blog: Allah, iman, Mujizat, Sulap

Comments

evie's picture

Mujizat itu Nyata

Hello BathiQoy,
Met kenal dulu ya sebelumnya :)
Thanks buat artikel yang udah Anda kirim. Ini tulisan Anda sendiri? Wah, kebetulan sekali karena beberapa waktu ini saya sedang mencari kalimat-kalimat seperti apa yang bisa mewakili pemikiran saya tentang arti Mujizat itu. Dan tulisan yang Anda posting ini hampir senada dengan yang saya pikirkan.
Contohnya, mujizat kesembuhan. Tuhan memakai para dokter untuk membawa kita kepada kesembuhan suatu penyakit. Adanya dokter sendiri bagi saya sudah mujizat karena Dia menaruh akal,pengetahuan, hikmat kepada para dokter untuk mengobati tubuh manusia ciptaan-Nya. Bukankah ini mujizat namanya? Jika dengan sebuah obat kita dapat sembuh, ya, dengan cara itulah salah satu cara Tuhan memberikan mujizat kesembuhan kepada kita.
Jika toh kita tidak sembuh, mari kita lihat apa yang Tuhan ijinkan terjadi atas kita sehubungan dengan penyakit kita. Apapun yang terjadi, itulah mujizat, dimana dalam penyakit kita tetap bisa bertahan hidup dan bersukacita. Mujizat yang lebih hebat lagi, ketika tubuh kita diangkat dari penyakit itu dan bertemu dengan Bapa di Surga :)
Ya, bagi saya, setiap hembusan nafas adalah mujizat :)
thanks ya :) GBU

BathiQoY's picture

Evie, Luar biasa!!

Hellow Evie, 

Thank God kalau anda merasa diberkati, hari-hari ini banyak sekali orang yang terlalu mistikal terhadap Kekristenan, mereka menganggap ikut Yesus pasti beres dan lancar, secara AJAIB.

Well, bisa saja.. tiada yang mustahil. Tapi motivasi mereka jadi mengejar mujizat saja, dan kalau tidak "dapat" bisa2 jadi batu sandungan.

Mbak Evie, saya setuju seperti yang anda katakan, jika mujizat itu bukan semata-mata HANYA hal-hal ajaib yang WAH. Banyak sekali kejadian yang tidak kita sadari, yang selalu kita temui tiap hari kalau itu adalah MUJIZAT. Mujizat adalah apa saja yang ada dan telah ada yang sudah Bapa Sorgawi berikan kepada kita dalam 1001 cara, selalu bersyukur itulah kunci kalau kita selalu ingin merasakan hidup dalam mujizat.

*I.Tes.5:18 Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

dianpra's picture

Mukjizat itu relatif

Hei BathiqOy, salam kenal ya....
Kata mukjizat itu relatif, bagi satu orang, sesuatu mungkin dianggap mukjizat, tapi bagi orang lain, itu mungkin bukan mukjizat.
Keterbatasan dan pengetahuan manusia itu berbeda satu sama lain, bagi anak bayi/kecil yang pertama kali melihat hujan, mungkin hujan baginya adalah mukjizat, tapi bagi kita, hujan bukan mukjizat.
Selama orang-orang menganggap sesuatu yang tidak dapat mereka terima dengan akal sehat sebagai mukjizat, ya biarlah. Justru itu menunjukkan kalau mereka percaya ada kuasa Tuhan di balik kehidupan kita.
Andaikan toh mereka mendapat penjelasan yang ilmiah tentang sesuatu yang aneh itu di kemudian hari, ya biarlah. Toh ilmu pengetahuan kan juga salah satu bentuk mukjizat Tuhan.

BathiQoY's picture

Dianpra,be Flexible and adaptative

Setuju bung dian, dalam dinamika sosial yang begitu kental dan padat di milenium ke-3 ini, sungguh suatu tuntutan tersendiri bagi kita sebagai subyek2 globalisasi agar bisa membawakan diri dengan benar. Apalagi dalam dunia Kekristenan yang semakin lama semakin banyak tantangan, perlu memperkuat saraf2 kritis kita, supaya mencerahkan banyak orang, dan menjadi garam dan terang dunia

Tidak perlu memaksa

Betul! Tidak perlu memaksa untuk menyamakan persepsi. Biarlah berbeda, sehingga kalau kita menganggap bahwa sesuatu itu mukjizat namun sementara yang lain tidak menganggapnya demikian, rasa syukur kita pada Tuhan semakin besar karena rasa takjub kita yang besar atas karya yang Dia perbuat. Amin.

Mujizat setiap hari

Mujizat coba saya hitung dulu ah, loh!!! koq setiap hari ada mujizat. Alangkah indahnya hidup ini.

Thanks God..Ow YES!!

-pen0nt0n-

Berkat Atau Mukjizat?

Shalom BhatiQoy,

Saya baru hari ini membaca blog Sdr. dan saya kagum atas keragaman tulisan Sdr.

Saya setuju kita tidak perlu mempersoalkan term/istilah lagi. Karena buat apalah kita ribut2 ini dan itu. Iman kita, rohani kita, yang tahu betul persisnya hanya Allah saja. Maka saya pun setuju jika ada yang bilang setiap hari ada mukjizat. Ya, bahkan setiap detik ada mukjizatnya sendiri. Ya, mau disebut mukjizat atau berkat, terserahlah? Atau beda ya? Ah, gak perlulah kita persoalkan term itu.

Yang utama sekarang bagaimana kita dapat mengembangkan kehidupan kekristenan kita agar kita tetap layak dihadapan-Nya.

Salam kasih,

Deny S Pamudji

http://jakartaberdoa.blogspot.com