Kerohanian yang 'Stagnan'

[?] Setelah seseorang menerima Kristus dan hidup menjadi seorang Kristen, mengapa seringkali kehidupan rohaninya semakin lama menjadi semakin kaku dan membosankan sehingga tidak lagi memiliki pertumbuhan rohani sebagaimana ketika pertama kali menerima Kristus? Bagaimana mengatasinya?

I. Mengapa Kerohanian Menjadi Kaku dan Membosankan?

Pertumbuhan rohani adalah “proses menjadi” serupa dengan gambar khalik-Nya (Bacalah 2 Pet. 1:3-8). Roh Kudus akan berdiam di dalam diri orang percaya (Yoh. 14:16-17), menjadikannya sebagai “ciptaan baru” di dalam Kristus (2 Kor. 5:17). Pribadi lama orang percaya akan diubah menjadi baru (Rom. 6-7), yakni kehidupan rohani yang menampakkan buah-buah roh (Gal. 5:22-33), dan menenggelamkan “perbuatan-perbuatan kedagingan” (Gal. 5:19-23).

Pertumbuhan rohani juga berlangsung seumur hidup, sejak dilahirkan baru. Proses ini memerlukan pemeliharaan melalui praktek-praktek dan disiplin-disiplin rohani (2 Tim. 3:16-17), atas bimbingan Roh Kudus (Gal. 5:16-26). Proses ini pasti akan terasa berat, membosankan dan melelahkan. Penyebabnya, selain karena kelemahan tertentu dalam diri orang percaya itu sendiri dan Iblis juga akan berupaya menggodanya. Ketika orang percaya bersatu dengan Kristus, ia akan menjadi musuh Iblis. Iblis tidak senang dan akan berupaya menjatuhkannya dengan berbagai-bagai cara, termasuk menggunakan berbagai masalah, kedukaan, kelemahan dan kelalaian pribadinya. Selain itu, orang percaya dibuat “terpesona” dengan dunia ini atau justru karena “pola pikirnya” belum berubah secara total sehingga mudah dimanfaatkan oleh Iblis.

Menerima Kristus dan hidup sebagai orang Kristen belumlah cukup apabila tidak menjadi pelaku Firman dan menanggalkan atribut keduniawian dan manusia lama kita. Beberapa orang mungkin teringat dengan pengalaman rohaninya pada masa lalu, ketika dibaptis dan sebagainya. Mereka merasa “berapi-api” dan bahagia karena merasa sudah “diselamatkan”. Mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani serta menerapkan disiplin rohani pribadi secara teratur dan terencana. Tetapi, dalam waktu tertentu, beberapa di antara mereka akan diuji dan seringkali berakibat pada kemunduran dalam semangat rohaninya dan tidak sedikit juga yang “jatuh”.

Kemunduran ini mungkin disebabkan karena mereka “telah kehilangan kasih yang mula-mula”. Atau, mungkin juga karena merasa “sudah cukup dan merasa lelah” atau karena telah berpikir secara sempit, “cukuplah hanya menjadi Kristen, ‘diselamatkan’ dan ‘sedikit mengerti’ kekristenan”. Gejala ini semakin nyata, ketika mereka tidak lagi melakukan praktek-praktek dan disiplin-disiplin rohani yang praktis secara terencana.

Seseorang yang mengalami kemunduran rohani akan menunjukkan perilakunya yang pasif, lesu, kecewa, terluka, cepat tersinggung, dan sebagainya. Untuk menyembunyikan perasaan dan perilaku ini, seringkali mereka akan mencari tempat pelarian, misalnya, tenggelam dalam kesibukan pekerjaan, atau mengerjakan hobi secara berlebihan. Jika mereka “terjebak” dalam kegiatan atau percakapan “rohani”, mereka justru “menunjukkan” kekecewaan mereka karena kegagalan kehidupan rohani pihak lain. Ia, kemudian mengharapkan kehidupan rohani “hayalan”; menginginkan semua orang seperti yang ia inginkan! Harapan yang “menghayal” ini seringkali berujung pada sikap "MENGHAKIMI" sesamanya. Kegagalan kehidupan rohani pihak lain adalah “pembenaran” bagi kemunduran rohani pribadinya. Intinya, mereka sudah melupakan semua kebaikan Tuhan dan tidak lagi menjadi pelaku Firman, namun “mengasihani” diri sendiri atau sebaliknya, ia sudah kehilangan orintasi hidup yang berimbas pada kerusakan komunikasi dengan Tuhan dan dengan sesamanya.

Gejala-gejala ini teridentifikasi dalam perilaku-perilaku seperti berikut: (1). Kesombongan rohani: Merasa sudah dewasa secara rohani. (2). Kesibukan: Kesibukan kerja, keluarga bahkan ‘pelayanan’ membuat seseorang lupa dengan hal-hal rohani. (3). Kejenuhan: Terlalu sibuk bekerja dan melayani bisa berakibat pada pengabaian hal-hal rohani.

II. Solusi Mengatasi Kejenuhan Rohani

A. Solusi Pertama: “Disiplin Rohani”

Disiplin rohani adalah sebuah sikap dari dalam diri orang percaya yang bertekad -– commited -– untuk mau dan bertekun memanfaatkan atau menggunakan “alat-alat anugrah” yang direkomendasikan oleh Allah sendiri, yakni: Gereja (secara institusional), Alkitab, Doa-Doa dan Sakramen. Inlah sarana yang telah Allah khususkan untuk orang percaya.

Disiplin rohani secara praktis antara lain:

(1). Belajar Firman: mendengar khotbah-khotbah, mengikuti diskusi-diskusi, seminar-seminar dan kursus-kursus.

(2). Berdoa: mengaku dosa, berpuasa, minta hikmat, minta penguatan iman dan pengetahuan, dan “berdiam diri” -- mendengarkan suara Tuhan.

(3). Beribadah: Ibadah pribadi -- saat teduh, Ibadah keluarga (‘family altar’), dan Ibadah raya termasuk KKR dan sejenisnya.

(4). Pergaulan yang baik: Saling memperhatikan terutama dengan saudara seiman, interaksi dengan sesama secara positif dan mengerjakan pekerjaan yang baik.

(5). Bertekun: Ingat “kasih yang mula-mula”. Jangan berpuas diri. Jangan lelah. Jangan membanding-bandingkan dengan “rumput” tertangga. Jangan dipengaruhi situasi dan kondisi pelayanan Gereja.

(6). Rendah hati: Jangan "sombong", dalam arti, merasa mengethui banyak mengenai Firman Tuhan, bersikap senioritas, mencari popularitas, bersikap meremehkan pendapat orang. Jangan cepat tersinggung. Tidak “sok” rohani dan “sok” tahu Firman Tuhan.

(7). Konsultasi rohani: Pemberesan kepahitan, terbuka terhadap kelemahan-kelemahan pribadi, meninjau ulang (‘review’) aktivitas pribadi.

(8). Toleransi: Jangan memandang pekerjaan atau status seraya memaknai juga keperbedaan kualitas iman dan pengetahuan antar pribadi.

(9). Kesaksian: Membagikan kesaksian – ‘sharing’. Mengambil bagian dalam pelayanan dan melakukan tugas penginjilan pribadi serta mengunjungi saudara seiman yang sedang dalam kesusahan mereka dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial.

(10). Bergereja: Berjemaat, kebaktian, terlibat melayani, memberikan persembahan dan mengikuti Sakramen (Perjamuan Kudus) secara teratur dan memberikan pertolongan.

B. Solusi Kedua: “Keseimbangan Rohani”

Sebaliknya, orang Kristen memang terpanggil untuk BERSEKUTU tetapi juga terpanggil untuk membuat prioritas rohani.

Sejujurnya, kebanyakan orang (Kristen) adalah 'sok' sibuk dalam dua sisi kehidupan. Seperti Maria dan Marta, kita semua terjebak dalam dua pilihan, antara 'mendesak' dan 'perlu'. Ketika Yesus berkata bahwa apa yang dikerjakan oleh Maria itu perlu, baik, dan kekal, Ia memperlihatkan tiga bahaya yang timbul sebagai akibat dari kesibukan yang berlebihan.

(1). Yang "mendesak" dapat menyisihkan yang "perlu". Jika kita ingin setia kepada Yesus dan melakukan apa yang wajib kita lakukan, kita harus memisahkan hal-hal yang meminta perhatian kita dari satu hal yang benar-benar perlu, semua sasaran, cita-cita, kegiatan, dan keinginan pribadi kita harus diimbangi oleh satu hal yang paling penting -- hubungan kita dengan Tuhan.

(2). Yang "baik" dapat menyisihkan yang "terbaik". Terbaik berarti yang berharga. Kita dapat melakukan segalanya. Karena itu, kita harus pandai memilih supaya kita mengerjakan hal-hal terbaik.

(3). Yang "sementara" dapat menyisihkan "yang kekal". Kebanyakan orang Kristen lebih mendahulukan hal-hal yang perlu, hal-hal terbaik, tetapi menyisihkan hal-hal yang rohani, hal-hal yang kekal.

JADI, agar kerohanian tidak stagnan, penuhilah hidup kita dengan tiga unsur di bawah ini, yaitu:

(1). Penuhi hidup kita dengan Allah. Tragedi dalam kehidupan banyak orang adalah bahwa mereka memisahkan diri dari Allah. Tanpa Allah akan selalu ada kekosongan dalam hidup kita. Melalui iman kita dapat menyerahkan hidup kita kepada Allah sebagaimana Ia dikenal dalam diri Yesus Kristus. Allah kemudian datang untuk mengisi hati kita dan kekosongan pun hilang. Sementara kita hidup dengan Dia, kita menikmati damai sejahtera, tujuan, dan kuasa yang membuat hidup ini berharga.

(2). Penuhi hidup kita dengan kasih. Tidak ada sesuatu pun yang dapat lebih membawa kepuasan abadi dalam hidup ini daripada sukacita menolong orang lain. Harus ada waktu yang diluangkan untuk beristirahat, untuk bersantai, untuk meningkatkan diri, untuk beribadah, dan untuk pelayanan sukarela. Kita harus mengisi hidup dengan kasih dan pelayanan.

(3). Penuhi hidup kita dengan pengharapan. Pengharapan adalah penantian yang penuh sukacita. Kristus tidak hanya memberikan pengharapan yang akan datang, tetapi juga memberi kita pengharapan saat sekarang. Jika seseorang mempunyai alasan-alasan untuk hidup, maka ia dapat tahan menanggung hampir semua segi kehidupan. Jika tidak, kehidupannya akan runtuh.

C. Kasus: “Bahaya Kemunafikan”

[?] “...Dari pada saya kecewa karena melihat banyak kemunafikan terjadi di Gereja, maka saya lebih baik menggantungkan hidup saya pada Tuhan saja, masih mendingan melihat kemunafikan yang terjadi di luar Gereja...

Kasus ini mengingatkan, bahwa kemunafikan adalah bahaya “laten”; mengancam semua orang. Dalam ancaman ini, orang Kristen terpanggil untuk bersikap JUJUR atau TULUS! Penyerahan diri yang benar membuat kita menjadi pengikut Kristus yang sejati. Dalam pengajaran-Nya, Yesus memberitahukan kepada kita tiga hal mengenai kemunafikan yang akan menolong kita untuk waspada terhadapnya.

(1). Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap kemunafikan. Artinya, ADA kemunafikan tertentu dalam diri semua orang.

(2). Kemunafikan adalah jenis dosa yang paling buruk. Kemunafikan merupakan dosa yang dikutuk Yesus sangat keras. Janganlah hendaknya ada kepura-puraan dalam diri anda. Jadilah seorang yang tulus, sejati dan konsekuen.

(3). Anda tak dapat bebas dari hukuman. Kita tidak dapat membohongi Allah, semua akan disingkapkan, termasuk kemunafikan. Allah mengetahui semuanya. Oleh sebab itu, orang Kristen sejati adalah pengikut Kristus yang tulus dan tidak munafik.

Demikian.

Kontributor:

Anton Priyadhi - Chatty Mintje - Christian Yanto - David Ho - Dedy Yanuar - Dwi Wong - Ivan Hariman – Iwan – Joshua - Lilik Sulistiawati - Loudy Rauan – Oktavianus - Victor Prahara - Yohanna Prita Amelia – Yuli - Yulien Djong - Yuli Rahayu - Evelyn Natalia - Gerard Binilang

Sola Gratia,
Riwon Alfrey

Kategori: Teologi

Keywords Artikel: Doktrin, Praktis

Topic Artikel: Teologi dan Alkitab