Hati yang lembut untuk berbagi

Amos 6:1a, 4-7; Mazmur 146; I Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31

Teguran Amos sungguh menghentakan "ruang nyaman" hidup. Dalam setiap kesenangan dan kebahagiaan yang dirasakan, pada saat yang sama juga selalu akan ada pihak yang merasakan sebaliknya: pihak yang tersisih, kesusahan dan bergumul dengan kepedihan hidup. Dorongan untuk berbagi kehidupan yang berangkat dari hati yang lembut menjadi sapaan berita kenabiannya secara komunal khususnya untuk para pemimpin Israel pada zamannya.

Pemazmur melihat Allah sebagai sosok Raja yang peduli. Allah sebagai pembela yang lemah, menegakkan apa yang benar, melindungi yang tersisih. Bergantung kepada Allah yang seperti itu, berarti diajak juga untuk mengikuti pilihan gaya pemerintahan-Nya dengan nyata dalam kepemimpinan hidup sehari-hari.

Kenyataan bahwa banyak pemimpin memiliki prinsip yang berkebalikan dari tuntunan dan arahan Allah membuat Paulus menasihati Timotius untuk waspada. Sebab jika semata-mata hanya uang dan kekayaan yang dikejar oleh pemimpin hasilnya adalah masalah-masalah. Banyak kemudian yang malah "menjual" iman mereka. Dorongan Paulus ialah agar Timotius berusaha menjadi orang yang benar di mata Allah, yang mengabdi kepada Allah, percaya kepada Kristus, mengasihi sesama, tabah dalam penderitaan, dan bersikap lemah lembut. Ini jauh lebih bernilai ketimbang uang dan kekayaan.

Baik dan jahat. Kaya dan miskin. Kuat dan lemah. Mampu dan terbatas. Ini adalah kenyataan hidup. Dua sisi yang saling berbeda satu sama lain. Tetapi yang berbeda sebenarnya tidak selalu harus menentang dan menggilas satu sama lain bukan? Walaupun ada banyak perbedaan, bukankah sebenarnya ada satu yang sama, yaitu bahwa setiap orang punya hati. Ya! setiap orang mampu untuk memiliki belas kasihan kepada yang berbeda dengannya. Sejahat-jahatnya seseorang, seburuk-buruknya tindakannya, selemah-lemahnya kemampuannya, ia tetap punya hati. Memang, tidak semua hati orang itu dapat menjadi lembut. Ada saja yang memilih untuk mengeraskan hati dan tidak mau tahu dengan yang berbeda dengannya. Apalagi jika ia berada di posisi yang kuat, “di atas” dan mampu. Kecenderungan yang terjadi ialah menindas yang lemah, di bawah dan tidak mampu. Dalam kekerasan hati seperti itu dengan tegas ia dapat berkata: “kesusahanmu ya kesusahanmu, bukan kesusahanku!” Tentu juga sebaliknya, yang lemah kadang dengan mudahnya mencibir yang kuat dan yang mampu dengan menganggap yang mampu itu sebagai orang yang sombong, sok kuasa dan tidak peduli.

Pembedaan yang diikuti dengan ketidakpedulian dan kekerasan hati akan menimbulkan masalah yang besar. Itulah sebabnya Yesus menceritakan tentang cerita seorang kaya dan Lazarus yang miskin ini (Luk 16:19-31). Ada gema pesan yang jelas dari cerita itu bahwa kekayaan si orang kaya ini ternyata telah menghambat hubungannya dengan Lazarus. Baginya Lazarus mungkin tidak lebih baik dari seekor anjing (Luk 16:21). Orang kaya ini sepertinya lupa bahwa bukti dari mengasihi Allah ialah dengan mengasihi sesama juga. Hatinya keras dan tidak memiliki welas asih kepada orang yang kesusahan yang ia ketahui dengan jelas ada di hadapannya. Orang kaya ini tidak mampu melihat “wajah Allah” dalam diri Lazarus miskin yang dipenuhi borok itu. Bahkan di “dunia orang mati” pun, ia masih menganggap Lazarus itu ada “di bawahnya” dengan memberikan perintah tidak langsung untuk memberikan “pesan kepada keluarganya”. Melalui tanggapan sosok Abraham dalam cerita ini (sebagai yang mewakili sosok terpandang dan besar dalam kultur Israel) kepada si orang kaya, kita melihat betapa Abraham menyayangkan pilihan sikap orang kaya itu (Luk 16:31). Apa sebenarnya yang ada di hati orang kaya itu? Hatinya keras dan enggan berbagi.

Kalau sempat silahkan mampir ke: essyeisen.com