GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA (GPdI)-Bagian 1

  1. GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA (GPdI)

 

Sejarah Perjalanan Pelayanan GPdI 1920-1930

Pada tanggal 4 Januari 1921, empat orang mantan perwira Bala Keselamatan, yaitu Richard Dick, Christine Van Klaverans dan Cornelius Groesbeck beserta putri-putri mereka Jennie (12,5 tahun) dan Corie Groesbeek (6 tahun), warga negara Amerika keturunan Belanda berangkat dari Seattle ke Indonesia dengan kapal laut Suamaru ke Yokohama, Osaka, singgah di China, lalu ke Pulau Jawa. 

Tanggal 23 Pebruari 1921, mereka tiba di Batavia (Jakarta), lalu dari Jakarta melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi, dan dengan kapal Varkenboot mereka tiba di Singaraja (Bali) pada bulan Maret 1921, kemudian menetap di Denpasar dalam sebuah gedung kopra dengan lantai batu bata yang telah hancur dan atap terbuat dari rumbia. 

Letak gudang ini berada pada suatu Taman yang berseberangan dengan pura Hindu. Gudangnya hanya sebuah ruangan empat persegi dimana sebagian ruangan disekat untuk dijadikan 3 kamar tidur. Satu untuk suami isteri Groesbeck, satu untuk keluarga Van Klaveren dan satu lagi untuk Jennie dan Corrie. Sisanya merupakan sebuah ruangan besar yang luas, yang berfungsi baik sebagai ruang tinggal (Living Room), ruang makan maupun sebagai dapur, juga terdapat sebuah kamar mandi. 

 

Dengan penuh kesulitan mereka mulai menabur benih Injil Sepenuh dari rumah ke rumah. Mereka dengan sepeda mengunjungi desa-desa, berhenti untuk bercakap-cakap dengan penduduk dan menanyakan apakah ada yang sakit. Bila ada, mereka didoakan, dan Tuhan menyembuhkan mereka. Mula-mula Tuhan bekerja dengan cara demikian. Orang-orang yang beragama Protestan belum pernah mendengar penyembuhan dengan cara ini atau tentang baptisan air dan kepenuhan Roh Kudus.


Banyak orang-orang yang memunyai luka bernanah, datang ke rumah mereka, mereka menyobek seprei-seprei lama menjadi semacam perban untuk membalut luka-luka mereka. Baru dikemudian hari diketahui bahwa mereka menderita penyakit kusta. Mereka semua didoakan. Karena begitu banyak orang yang datang ke rumah untuk mohon didoakan dan menerima kesembuhan, maka penduduk setempat bermaksud jahat terhadap mereka. 

Di depan rumah tersebut terdapat sebuah pagar kecil dan selokan sepanjang jalan. Diatas selokan terdapat sebuah jembatan kecil yang menuju rumah. Hari berikutnya penduduk Bali menceritakan tentang rencana jahat itu terhadap mereka. Mereka tidak dapat melaksanákan rencana tersebut karena mereka melihat malaikat-malaikat yang berdiri di pintu gerbang rumah. Tuhan telah membela mereka.

Apa yang mereka kerjakan di sana juga telah mengundang reaksi keras imam-imam Hindu. Hal ini mendorong Pemerintah Belanda melarang hamba Tuhan ini menetap dan menginjil di Bali dengan alasan takut merusak kebudayaan asli penduduk Bali. Seringkali mereka mengirim agen-agen dari dinas rahasia untuk memata-matai selama kebaktian berlangsung, karena mereka menyangka bahwa mereka adalah orang Bolsjewik. Mereka senang bahwa dengan jalan demikian mereka dapat mendengarkan kabar Injil. 

Keluarga Van Klaverens harus meninggalkan Bali dalam waktu 3 hari. Karenanya, setelah sekitar 21 bulan berada di Bali, ketika menjelang Natal tahun 1922, kedua keluarga ini berangkat ke Surabaya, kemudian keluarga Rev. Richard van Klaverans menuju ke Batavia. Di Surabaya, Rev. Cornelius E.Groesbeek berkenalan dengan Ny.Wijnen yang memunyai seorang keponakan yang bekerja di BPM Cepu (Shell), yaitu Sdr. F.G.Van Gessel. Dengan perantaraan Ny.Wijnen yang telah menerima kesembuhan Illahi lewat pelayanan Rev. Cornelius E.Groesbeek, maka Sdr.Van Gessel dapat berjumpa dan berkenalan dengan beliau. 

Sdr.Van Gessel menyambut hangat Rev. Groesbeck karena memang telah lama dia ingin lebih mengerti dan mendalami Injil yang selama ini dibacanya. Berita Pantekosta disambutnya dengan penuh sukacita, lalu pada bulan Januari 1923 dimulailah kebaktian Pantekosta yang pertama di Deterdink Boulevard, Cepu. F.G.Van Gessel dengan istri, pegawai tinggi BPM bergaji F.800 (800 Gulden), bertobat dan menerima Injil Sepenuh. Kebaktian itu berlangsung terus dengan baik dan jumlah pengunjung bertambah hingga mencapai 50 orang.

Kebaktian di Cepu ini mengalami tantangan keras. Mereka diejek, diolok, dan dituduh sebagai aliran yang menyesatkan. Ds.Hoekendijk menegaskan bahwa kebaktian Pantekosta yang di Cepu dan mujizat yang terjadi di dalamnya berasal dari Setan. Namun demikian, Tuhan bekerja luar biasa. Tiga bulan kemudian pada 30 Maret 1923 terjadi suatu peristiwa penting yang menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Benih Injil Sepenuh yang ditabur dengan linangan air mata sejak Maret 1921 di Bali, mengeluarkan buah pertama dengan diadakannya baptisan air di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang. Baptisan ini dilakukan oleh Rev. Cornelius E.Groesbeck dan dibantu oleh Rev. J. Thiessen, seorang misionaris dari Belanda. Di antara 13 orang itu terdapat suami istri F.G.Van Gessel, suami istri S.I.P. Lumoindong dan Sdr.Agust Kops.

Antara tahun 1923-1928 jemaat di Cepu menghasilkan tidak kurang dari 16 hamba Tuhan yang menjadi pioner-pioner Gereja Pantekosta di Indonesia  dan menyebar ke Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Diantara meraka adalah: F.G Van Gessel, S.I.P Lumoindong, W.Mamahit, Hessel Nogi  Runkat, Effraim Lesnussa, Frans Silooy, R.O.Mangindaan, Arie Elnadus Siwi, Julianus Repi, Alexius Tambuwun, G.A.Yokom dan J.Lumenta.

Pada tanggal 19 Maret 1923 berdirilah Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie yang berkedudukan di Bandung dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua: Pdt. D.H.W.Weenink, Van Loon, Sekretaris: Pdt.Paulus, Bendahara: Pdt.G.Droop. Dan pada tanggal 30 Maret 1923, badan tersebut mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1924 di Cipanas, Jawa Barat, serta diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368. Perkembangan selanjutnya, gerakan ini dengan cepat menyebar dari Surabaya ke seluruh Jawa Timur, Sumatera Utara, Minahasa, Maluku dan Irian.

Disamping Pengurus di atas yang bertanggung jawab terhadap Pemerintah, maka diadakan pula suatu Convent hamba-hamba Tuhan yang tua terdiri dari: Pdt. F.G.Van Gessel, Pdt. Weenink Van Loon, Pdt. Van Abkoude, Pdt..D.Van Klaverans & Istri, Pdt. H.Horstman, Pdt. M.A. Alt. 


Pada tahun 1924 Gereja Bethel Temple mengirim sebuah tenda besar yang dapat dipasang untuk kebaktian. Rev.Groesbeck berkhotbah dalam bahasa Belanda dan ada orang yang mènterjemahkan. Dan ternyata ada banyak jiwa diselamatkan dan dipenuhi dengan Roh Kudus. Saat itu juga mereka mulai belajar bahasa Indonesia. Sewaktu di Bali-pun Tuhan sungguh heran dan Tuhan menyediakan orang yang menterjemahkan bila Rev.Groesbeck berkhotbah. Jennie kemudian juga belajar untuk berbahasa Jawa.

 

Di tahun 1926 Sdr.Nanlohy mulai memberitakan Injil sepenuh di Amahasa dengan mengalami banyak tantangan. Mayoritas penduduk kepulauan Maluku adalah beragama Kristen, namun kehidupan kekristenan didaerah ini adalah agama nenek moyang. Kemudian datang Sdr.Kipur, Sdr.Tumbel disusul Sdr.Yocom, Sdr.Yoop Seloey dan Sdr.Rikihena. Dengan demikian Injil sepenuh menjalar keberbagai pelosok Maluku.


Pada bulan Maret 1927 Sdr.Groeneveld seorang pegawai doane di Balikpapan (Kalimantan Timur) mulai mengadakan persekutuan doa/kebaktian rumah tangga.
Pada tahun 1930 Pdt. Debur datang dan memberitakan Injil di kota ini juga. Kèmudian disusul Pdt. Pattirajawane lalu datang pula Rev. Wassel. 


Pelopor Injil Sepenuh yang patut dicatat untuk daerah Kalimantan Selatan adalah sdr.Pattirajawane, disusul sdr.Graaftal, kemudian sdr. J.J. Walewangko pegawai BPM, disusul pula sdr.Liem Hwa Seng. Sdr.Yonathan Itar adalah pelopor Injil sepenuh di pulau Irian Jaya yang luas ini. Perjuangan beliau sangat berhasil, sehingga saat ini telah ada lebih dari 350 gereja Pantekosta di Irian Jaya. Ditempat ini juga ada Sekolah Alkitab untuk mendidik calon-calon hamba Tuhan. 

 

Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperintah oleh Sri Sultan, kota yang dijuluki sebagai kota “gudeg” dan ‘kota mahasiswa/pelajar.” mendapat lawatan Tuhan. Gereja Pantekosta di Indonesia Yogyakarta mulai diperkenalkan ketika Pendeta S.I.P. Lumoindong membuka kebaktian pertama tahun 1928 di Jalan Ngupasan. Kemudian antara tahun 1928-1930 tempat kebaktian dipindahkan ke jalan Góndomanan dan jalan Yudonegaran, dipimpin pendeta Abkoede dibantu Pdt.Jóhan Van Der Lip dan adiknya Pdt.Piet Van Der Lip.

 

Kemudian dengan memakai nama ‘De Pinkster Gemeente’ mereka berpindah lagi ke Ngadiwinatan dan empat tahun kemudian pindah ke Poncowinatan dilayani oleh Pdt.Theunis Andriesse. Ternyata di tempat baru itu mereka hanya bertahan beberapa bulan dan kemudian dipindah lagi ke Ronodigdayan menempati rumah kecil yang sangat sederhana. Beberapa waktu kemudian Ny. Smith membuka sendiri kebaktian De Pinkster Gemeente di jalan Sindunegaran, Bumijo, dan seorang pengusaha Go Djoen Bok mengusahakan rumah yang lebih strategis di jalan Tugu Kulon (sekarang Jl.P.Diponegoro) no. 28 hingga sekarang. Sedang tempat kebaktian di Ronodigdayan karena keuangan gereja lebih lemah dibanding dengan gereja di Tugu Kulon kemudian dipindahkan ke Bausasran Kidul dibawah pimpinan Pdt.Christ Van Thiel. Kemudian dibuka lagi dua gereja masing-masing oleh Pdt.Johan Van Der Lip dengan nama Pinkstervreugd di jalan Ngupasan dan Pdt.Piet Van Der Lip dengan nama Pinksterzending di Sosrowijayan. De Pinkstergemeente Bausasran semakin berkembang sehingga tempat kébaktian tidak bisa menampung jemaat yang ada sehingga mereka dipindahkan ke jalan Lempuyangan 15 (sekarang Jl.Hayam Wuruk). Pembantu pendeta pada waktu itu ada 5 orang, salah seorang diantaranya adalah Sdr.The Kiem Koei (Raden Gideon Sutrisno).

 

Pada tanggal 13 Maret 1929 dua orang pemuda utusan Injil bernama A.Tambuwun dan J.Repi mendarat di pelabuhan Menado dengan meñumpang kapal motor “Van Dér Hagen”.Propinsi Sulawesi Utara adalah daerah Kristen, karena mayoritas penduduknya beragama Kristen. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) adalah gereja yang tersebar diseluruh pelosok Minahasa. Namun Injil sepenuh melalui Pinksterkerk (sekarang GPdI) kemudian masuk menembus pelayanan di daerah ini. Kedatangan mereka telah diketahui terlebih dahulu oleh beberapa anak Tuhan karena Tuhan telah memberitahukan kedatangan mereka melalui nubuat yang diucapkan oleh Sdr. D. Kalangi. Tanggal 14 Maret 1929 mereka tiba di Langowan dan diterima dengan sukacita oleh Keluarga W. Saerang.

 

Langowan sebuah kota kecamatan mendapat kehormatan Injil sepenuh melalui pemberitaan Pinksterkerk. Kebaktian perdana dihadiri oleh 40 orang. Tuhan bekerja dengan heran. Sdr. W.Saerang mendapat kepercayaan Tuhan karena Injil Pantekosta diberitakan di rumahnya. Pada kesempatan Itu Sdr.Alexius Tambuwun pulang kekampung halamannya di Tambeläng, dan Sdr.Julianus Repi ke Ranomea, maka di masing-masing tempat tersebut mereka juga memberitakan Injil Sepenuh. Pada tanggal 1 Desember 1929 diadakan baptisan air perdana bagi mereka yang telah percaya Kristus sebagai Juru Selamat pribadinya. Baptisan air ini diikuti oleh 42 orang yang terdiri dan 14 orang dari Langowan dan 28 orang dan Ranomea Amurang. 8 Nopember 1929 Keluarga J. Lumenta tiba dari Surabaya dan mendarat di pelabuhan Amurang, dan pada bulan yang sama tiba pula Sdr.E.Lesnussa dan pada awal tahun 1930 datang pula hamba Tuhan Keluarga Albert Jocom. Barisan utusan-utusan Allah untuk pemberitaan Injil di Sulawesi Utara menjadi makin kuat. Mereka menyebar ke berbagai pelosok Minahasa dan memberitakan Injil dalam kuasa dan urapan Roh Kudus. Tahun 1933 datang pula Pdt. Runtuwailan dan Sdr.L.A. Pandelaki ke Sulawesi Utara untuk memperkuat barisan hamba-hamba Allah.  

 

Pada tahun 1930, tiga dara dari Seattle memenuhi panggilan Tuhan menjadi penginjil di daerah Jawa dan Kalimantan. Gadis-gadis muda ini adalah Inice Presho, Iris Bowe, dan Eileen English. Setelah beberapa saat di Magelang kemudian mereka melayani kebaktian rumah ke rumah di Solo. Inice Presho kemudian mengadakan pelayanan di Surabaya. Juga ditahun 1931, Louis Johnson dan Arland Wasell berlayar dari Bethel Temple dan melayani di Kalimantan, mereka menyeberangi banyak sungai-sungai besar menuju ke pedalaman dari pulau tersebut melebihi dari penginjil-penginjil lain yang pernah lakukan sebelumnya. Tapi akhirnya mereka terpaksa kembali ke Jawa karena Arland Wassel sakit malaria, dan Inice Presho yang memang juru rawat mengasuhnya. Arland hampir tidak mampu sampai kerumah karena lelahnya perjalanan dengan kereta api dari Surabaya. Louis Johnson ternyata mengadakan hubungan dengan Eileen English dan bertunangan pada hari Valentin di tahun 1933, yang kemudian diteruskan dengan pernikahan di Magelang dan pesta diadakan di Solo. Corrie Groesbeek memainkan piano untuk acara yang berbahagia tersebut. 


Pelayanan keluarga Groesbeck periode ke 2 berlangsung selama 8 tahun, yaitu dari Agustus 1930 sampai Oktober 1938. Keluarga Groesbeck kembali ke rumah mereka pada tahun 1926 dan kembali ke pulau Jawa untuk perjalanan yang kedua mereka ditahun 1930. ."

 

SEJARAH GEREJA PENTAKOSTA DI INDONESIA

 

Gereja-gereja Pantekosta di Indonesia berasal dari gerakan Pentakosta yang timbul di Amerika Utara sekitar tahun 1906. Gerakan ini awalnya muncul dalam Gerakan Methodis yang berkeinginan untuk kembali kepada kegairahan dan kesederhanaan yang menekankan kembali kepada pertobatan secara mendadak yang menjadi cita-cita dalam kebangunan Methodis dan kesempurnaan Kristen seperti yang dianjurkan dalam Teologi Wesley. Dalam perkembangnya penganut gerakan ini keluar dari Gereja Methodis dan membentuk organisasi tersendiri. Pada tahun 1900 salah seorang tokoh gerakan tersebut, Ch. F. Parham mengembangkan 3 pokok ajaran yang kemudian hari menjadi ciri gerakan Pentakosta pada umumnya, yaitu tekanan pada eskatologi, pada baptisan dengan Roh dan pada karunia-karunia Roh, khususnya karunia lidah, sebagai tanda seseorang telah menerima baptisan Roh.

 

Gerakan ini dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah Amerika Serikat dan negara-negara lain. Menurut data, pada tahun 1972 pengikut aliran Pentakosta di seluruh dunia sudah mencapai 20 juta orang. Gereja Pentakosta memunyai ciri-ciri yang sama di seluruh dunia, antara lain: kebaktian yang serba bebas, pemakaian Alkitab secara “spontan”, tak dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pembangunan jemaat melalui kegiatan kebangunan rohani yang meliputi dorongan untuk bertobat dan hidup suci, dan anggapan bahwa dalam lingkungan jemaat perlu ada karunia lidah dan karunia kesembuhan sebagai tanda-tanda kesucian.

 

Sesuai watak gerakan Pentakosta yang bersifat spontan dan tidak memiliki organisasi yang ketat, gerakan itu secara tidak terencana masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang asal Inggris, J. Barnhard yang kemudian menetap di Temanggung, Jawa Tengah. Dari Temanggung, gerakan ini menyebar ke beberapa kota di Jawa, seperti Cepu dan Surakarta. Mulai tahun 1922, ajaran Pentakosta dibawa ke sana oleh Cornelius E. Groesbeck dan Richard van Klaveren, yang diutus oleh Bethel Temple dari Seatle, Amerika Serikat. Pada tahun 1923, tepatnya pada tanggal 19 Maret 1923 di Cepu berdiri Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda). Dan pada tanggal 30 Maret 1923, badan tersebut mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1923 di Cipanas, Jawa Barat, serta diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368.  Perkembangan selanjutnya, gerakan ini dengan cepat menyebar dari Surabaya ke seluruh Jawa Timur, Sumatera Utara, Minahasa, Maluku dan Irian.

 

Kronologi Perpecahan

Pada tahun 1937 jemaat tersebut berganti nama menjadi De Pinksterkerk in Nederlands Oost Indie (Gereja Pentakosta di HTB), dan sejak tahun 1942 mulai disebut Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI). Para pemimpin kemudian membentuk Pinksterconvent (Sidang Pentakosta) semacam badan pengurus yang bersifat longgar, sesuai dengan gagasan Pentakosta mengenai organisasi gereja yang berjiwa kongregasionalistis. Seiring dengan kemajuan organisasi tersebut, ketidakcocokan di antara pengurus mulai nampak, dengan pokok persoalannya antara lain:

  • Ajaran Jesus Only yang menganggap Nama Yesus meliputi tiga pribadi Trinitas, sehingga pembaptisan cukup kalau dilakukan dalam nama Yesus saja. Ajaran ini dibawa masuk dari Amerika Serikat oleh van Gessel.
  • Ada tidaknya hak seorang perempuan untuk memegang kedudukan kepemimpinan dalam gereja.
  • Hubungan antara jemaat setempat dengan organisasi pusat, misalnya dalam hal milik gereja.
  • Prestise suku atau individual.

 

Keempat faktor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya rentetan perpecahan sehingga menyebabkan jumlah gereja Pentakosta dari 1 nama gereja menjadi 25 nama gereja. Ini dapat dilihat dari beberapa pendeta yang keluar memisahkan diri dari organisasi gereja Pentakosta dan mendirikan gereja baru, seperti:

a.        J. Thiessen keluar tahun 1923 dan mendirikan Pinksterbeweging atau Gereja Gerakan Pentakosta (GGP).

b.       Zuster M.A. van Alt (Evangelis Wanita) keluar tahun 1931 dan mendirikan De Pinkster Zending atau Gereja Utusan Pentakosta (GUP).

c.        F. van Akoude pada tahun 1931 keluar dan mendirikan Gemeente van God, atau Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA).

d.       Pdt. D. Sinaga pada tahun 1941 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara (GPSU) atau GPdI-Sinaga.

e.        Pdt. Tan Hok Tjwan pada tahun 1946 keluar dan mendirikan Sing Ling Kau Hwee atau Gereja Isa Almasih (GIA).

f.        Pdt. Renatua Siburian pada tahun 1948 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara atau GPdI Siburian.

g.       Pada tahun 1951 beberapa pendeta keluar dan mendirikan Gereja Sidang Jemaat Pentakosta.

h.       Pdt. T.G. van Gessel dan Pdt. Ho Liong Seng (Dr. H. L. Senduk), pada tahun 1952 keluar dan mendirikan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS).

i.         Pada tahun 1957 GBIS pecah dan Pdt. G. Sutupo dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Bethel Tabernakel (GBT).

j.         Pdt. Ishak Lew keluar pada tahun 1959 dan mendirikan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS).

k.       Pada tahun 1960 GBIS pecah lagi dan Pdt. A. Parera mendirikan Gereja Nazareth Pentakosta (GNP).

l.         Pdt. Karel Sianturi dan Pdt. Sianipar pada tahun 1966 keluar dan mendirikan GPSU atau dikenal dengan nama GPdI-Sianturi.

m.      Pdt. Korompis keluar pada tahun 1966 dan mendirikan Gereja Pentakosta  Indonesia (GPI).

n.       Pada tahun 1967 para pemimpin gereja-gereja Pentakosta di Surabaya dan Timor keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Elim (GPE).

o.       Pada tahun 1969 GBIS pecah lagi dan Pdt. H.L. Senduk mendirikan Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Pdt. Jacob Nahuway mendirikan GBI Mawar Saron.

p.       Pada tahun 1970 Gereja Bethel Tarbernakel (GBT) pecah dan Ing. Yuwono mendirikan Gereja Pentakosta Tarbernakel (GPT).

 

Sebelumnya pada tahun 1936 Misionaris R.M. Devin dan R. Busby keluar dan membentuk Gereja ”Sidang-sidang Jemaat Allah” (Assemblies of God). Meskipun perpecahan demi perpecahan terjadi, namun mereka tetap berafiliasi pada satu nama yaitu Pentakosta, sehingga timbul inisiatif untuk menyatukan kembali sikap dan pandangan gereja-gereja beraliran Pentakosta. Hal ini diwujudkan dengan berdirinya Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Pentakosta Seluruh Indonesia (DKGKPSI) dan Persekutuan Pentakosta Indonesia (PPI). Pada tanggal 10 September 1979, kedua organisasi tersebut bergabung menjadi satu dengan nama Dewan Pentakosta Indonesia (DPI). Pada Musyawarah Besar (Mubes) I DPI tahun 1984, terpilih sebagai Ketua Umum adalah Pdt. W.H. Bolang. Dan pada Mubes II DPI berhasil memilih Pdt. A.H. Mandey sebagai Ketua Umumnya. Dan Pada Mubes DPI III di Caringin, Bogor, terpilih sebagai Ketua Umumnya adalah Pdt. M.D. Wakkary. Sebagian besar dari + 70 Sinode Gereja anggota PGPI (Persekutuan Gereja-gereja Pantekosta Indonesia) saat ini, berasal dari pohon besar GPdI. Dapat ditambahkan bahwa penyebab perpecahan lebih pada masalah perbedaan visi organisasi daripada masalah doktrin.

 

Meskipun sudah mengalami perpecahan beberapa kali, namun GPdI tetap merupakan gereja Pentakosta yang terbesar di Indonesia. Di antara Gereja-gereja Pentakosta yang terbesar lainnya terdapat GBI dan GSJA. Ada beberapa gereja Pentakosta yang sudah masuk menjadi anggota PGI, seperti GIA, GBIS, GPPS, dan GGP, Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia (GUPDI). Jumlah anggota seluruh gereja Pentakosta di Indonesia saat ini lebih kurang 4 juta. Hal ini berarti, bahwa Gerakan Pentakosta meliputi 10% seluruh umat Kristen di Indonesia.

 

Karakteristik GPdI

Organisasi GPdI memiliki sifat yang sangat unik dan sulit dipahami melalui kacamata awam. Namun cara ini telah melekat dan dinilai ”berhasil” maka secara alami terwariskan turun-temurun. Hal ini pula yang sekarang banyak membingungkan dan disalahpahami oleh generasi baru bahkan tidak sedikit terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Adapun sifat-sifat unik yang telah melekat tersebut yaitu:

a. Faktor Paternalistis (sangat mengutamakan/menghargai orang tua/senioritas dalam kepemimpinan).

b. Pendekatannya lebih bersifat kekeluargaan/persuasif.

c. Kombinasi organisasi dan organisme.

d. Faktor profesionalisme tidak menjadi utama.

Kondisi-kondisi seperti ini, mengharuskan seorang pemimpin GPdI di dalam segala strata, tidak cukup hanya mengandalkan ”skill” saja, tapi juga memerlukan ”seni” (seni memimpin).

 

NAMA GPdI

Jauh sebelum NKRI terbentuk maka para founding fathers telah memilih nama yang cocok bagi organisasi ini ialah ”Gereja Pantekosta di Indonesia”, hal ini menunjukkan betapa mereka memiliki semangat kebangsaan/nasionalisme yang kental dan wawasan nusantara yang tinggi. Berarti GPdI memiliki kontribusi penting untuk pembentukan NKRI jauh sebelum Negara ini terbentuk, sehingga kita bukan ”indekost” dan orang asing di negeri sendiri tetapi juga ”pemilik” negeri ini. Karena nama ”PANTEKOSTA” sudah melekat dalam Badan Hukum sejak sebelum kemerdekaan, maka kita tetap memakai ”Pantekosta” dan bukan ”PENTAKOSTA” yang baru belakangan ini populer karena adanya Alkitab terjemahan baru.

 

VISI & MISI GPdI

Pada alinea ke-4 Mukadimah AD/ART GPdI, tersirat Visi & Misi GPdI sbb: GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Injil Sepenuh yang termaktub dalam Markus 16:15-18 dan Matius 28:19, 20)

Jadi Visi GPdI secara umum ialah : ”Meluaskan Kerajaan Allah”.

Misinya: ”Pergi, Beritakan Injil, Jadikan segala bangsa murid Tuhan, Ajarkan

 

Untuk mewujudkan visi dan Misi tersebut, maka Anggaran Rumah Tangga GPdI Bab I, pasal 1 telah menetapkan upaya-upaya kegiatan pelayanan sebagai berikut:

-Melaksanakan Pekabaran Injil atau Penginjilan

-Membuka Sidang Jemaat/mendirikan bangunan Rumah Ibadah

-Mengerahkan seluruh warga jemaat untuk terlibat aktif dalam pelayanan gerejawi.

-Menyelenggarakan Pendidikan rohani dan pendidikan umum.

-Menyelenggarakan kegiatan diakonia, sosial dan pengentasan kemiskinan.

-Menyelenggarakan usaha penerbitan literature dan bacaan umum

-Melakukan penyiaran kegiatan gereja melalui media massa cetak, elektronik, rekaman, musik, dll

-Melakukan hubungan antar gereja, baik di dalam maupun di luar negeri.

-Melakukan upaya mendapatkan dana dari berbagai sumber yang tidak menyalahi Firman Tuhan.

 

Lembaga-lembaga Pendidikan Alkitab (SA,ST) juga memegang peranan yang sangat penting bagi pencapaian Visi dan Misi GPdI. (ART Bab II pasal 5). GPdI memiliki + 30 lembaga pendidikan Alkitab dan beberapa yang masih sedang dalam proses di MP GPdI.

 

URUTAN PERATURAN (“PERUNDANG-UNDANGAN”) GPdI

1. Firman Allah -Landasan Idiil

2. AD/ART -Landasan Struktural

3. GBPK -Landasan Operasional

4. Tap-tap MUBES (Ketetapan Mubes)

5. Surat Penetapan/Keputusan Majelis Pusat

6. Surat Keputusan Majelis Daerah, dst

 

MEKANISME KEPEMIMPINAN

1. Lembaga tertinggi di GPdI adalah MUBES (4 tahun sekali)

2. Mubes melahirkan personalia MAJELIS PUSAT (MP) periode baru.

3. Majelis Pusat mengangkat KOMISI PUSAT (KP) dari Wadah-wadah Pelayanan untuk tingkat nasional.

4. Pada gilirannya, Majelis Pusat memimpin MUSDA-MUSDA untuk melahirkan MAJELIS DAERAH.

5. Majelis Daerah akan mengangkat KOMISI-KOMISI DAERAH (KD) serta MAJELIS-MAJELIS WILAYAH (MW).

6. Majelis Wilayah mengangkat KOMISI-KOMISI WILAYAH (KW) diwilayahnya.

7. Majelis Daerah juga yang menetapkan GEMBALA-GEMBALA JEMAAT (GJ) sesuai mekanismenya, dan Gembala

Jemaat menetapkan KOMISI-KOMISI JEMAAT (KJ) sebagai lengannya.

8. Dan GEMBALA-GEMBALA yang memilih Majelis Pusat (dgn system perwakilan) pada waktu MUBES.

 

STATISTIK GPdI

Menurut Buku Data GPdI 2003 yang diterbitkan MUBES ke-30 yang diadakan di BICC, Nusa Dua, Bali, GPdI memiliki:

*Jumlah Sidang Jemaat : GPdI (Mandiri, Muda, Cabang) : 10.799

*Jumlah Pendeta (PDT) = 3891, Pendeta Muda (PDM) = 4689, dan Pendeta Pembantu PDP=3171

*Jumlah Gereja : Permanen =2388 buah, Semi Permanen = 3280, dan Darurat = 3825 buah.

*Jumlah Sekolah Alkitab (SA) =23 buah, dan Sekolah Tinggi Alkitab (STA/STT) = 11 buah.

 

 

Kilas Balik 85 Tahun Gereja Pantekosta di Indonesia

 

Dalam rangka menyambut 85 tahun pelayanan GPdI yang puncak acara peringatan HUT-nya berlangsung tanggal 15 September 2006 di Lapangan KONI Sario Manado, berikut Kilas Balik 85 tahun Perjalanan Pelayanan GPdI di Bumi Indonesia.

 

Semua prestasi ini, adalah hasil kerja keras dan pengabdian yang tidak mengenal lelah dan para pendahulu kita, para Pionir yang telah menabur ladang GPdI dengan linangan air mara dan darah, serta jiwa dan raga mereka yang sangat mengasihi Tuhan, sehingga sekarang Indonesia telah dihiasi dengan cahaya kemuliaan Allah yang sudah menghasilkan 11.000 pelayanan GPdI dengan jumlah jiwa mencapai 3-4 Juta orang Pantekosta yang bertaburan di berbagai pelosok Indonesia, dari desa-desa, kota-kota, dusun-dusun, lembah-lembah, pegunungan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke dari pulau Miangas sampai pulau Rote.

 

Pra Kemerdekaan

Jauh sebelum NKRI berdiri, GPdI sudah hadir di Bumi Indonesia. Tepatnya tahun 1921 benih Pantekosta pertama kali menyentuh negeri ini lewat kedatangan dua keluarga misionaris warga negara Amerika (Seattle) keturunan Belanda  yaitu keluarga Pdt. Cornelis Groesbeek dan Kel. Pdt. Dirk Richard Van Klaveren. GPdI lahir ditengah-tengah semangat Kebangkitan Nasional yang sedang mengemuka disaat itu antara era Budi Utomo 1908 sampai Sumpah Pemuda 1928. Barangkali dengan nuansa itu, para founding fathers GPdI turut memberi kontribusi dalam membentuk visi keIndonesiaan dengan memberi nama organisasi gerejawi yang didirikan itu: Gereja Pantekosta di Indonesia walaupun masih bahasa Belanda “De Pinkster Gemeente in Nedherlandsch Indie”. (kata “Indie” diartikan kaum Hindia yang kemudian dikenal sebagai Indonesia). Gereja ini bersifat terbuka dan menghimpun seluruh suku di Hindia Belanda saat itu. Dari sini diambil kesimpulan bahwa para Pionir kita sudah memiliki jiwa nasionalisme dengan wawasan kebangsaan yang luas, serta peduli atas nasib bangsanya, lahiriah maupun batiniah.

 

Sikap ini secara tidak langsung telah memberi andil bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mencakup seluruh suku bangsa dan bahasa di Indonesia dan Sabang sampai Merauke. Perlu diingat bahwa berbagai perjuangan saat itu kebanyakan masih bersifat parsial atau primordial seperti adanya Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Ambon, dll. Jadi peranan GPdI bagi kesatuan bangsa dan Negara ini cukup jelas. Tak dapat disangkal bahwa jauh sebelum era kebangkitan nasional, sudah ada gereja-gereja dan aliran utama lainnya yang telah eksis dinegeri ini, walau dalam pemberian nama masih cenderung bernuansa kedaerahan seperti Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Masehi Injil Timor (GMIT), dll.

 

Namun lebih dari semuanya, suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa GPdI bersama gereja-gereja aliran utama itu, bukanlah orang asing di negeri ini. Alasan pertama: kami sudah ada di sini jauh sebelum negara ini berdiri, kedua: sekecil apapun perannya, kami memiliki andil dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Artinya berhak memiliki ruang hidup dan bertumbuh di negeri ini bersama semua elemen bangsa lainnya.

 

Sebab sejarah mencatat bahwa semua agama besar yang diakui luas di Indonesia (Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik) telah bertumbuh dan berkembang di sini melalui benih yang datang dari luar, artinya tidak satupun agama tersebut di atas yang asli Indonesia, semuanya diimpor, seperti Hindu yang aslinya dari India, Budha dari Tiongkok, Islam dari tanah Arab dan Kristen dari Palestina.

 

Karena itu, seyogyanya tidak ada satu pihak pun yang berhak mcngklaim “lebih Indonesia daripada yang lain” , ‘lebih pribumi dari yang lain’. Karena semua kita adalah pendatang, atau kalau disebut pribumi, maka semua kita adalah pribumi yang berhak hidup dan bertumbuh di negeri ini dengan rukun dan damai.

 

Lahirnya Gerakan Pantekosta

Gerakan Pantekosta adalah lanjutan dari “gerakan kesucian” (Holiness Movement) yang mulai muncul dari kelompok Metodis pada dasawarsa 1830-an atau pertengahan abad ke 19 karena pertumbuhan rohani yang dirasakannya mulai stagnan di gereja tersebut.

 

Seperti diketahui, bahwa semangat kerohanian Methodis pun diilhami oleh kelompok Pietisme” yang muncul pada abad-abad sebelumnya di gereja-gereja arus utama lainnya seperti Lutheran dan Calvinis. Hal ini dikarenakan gereja yang mulanya diandalkan mengusung nilai-nilai pembaharuan dan pencerahan rohani, mulai terjebak dalam rutinitas, sehingga melembaga dengan kuat, hingga pertumbuhan serta kehidupan rohani mulai melemah.

 

Pada paruh kedua abad ke 19 muncul banyak kelompok pembaharuan yang mendambakan kebangunan dan kegerakan rohani. Berbagai denominasi baru dari latar belakang kesucian mulai berkembang di Eropa maupun Amerika. Ada yang tetap loyal kepada gereja Methodis tapi ada yang mulai independen dan membentuk organisasi baru a.l Church of God yang didirikan oleh Daniel S. Warner tahun 1880 berpusat di kota Anderson, disusul dengan beberapa gereja yang juga memakai nama Church of God lainnya menjelang abad ke­ 20. Selain itu ada “Fire Baptised Holiness Church” atau Gereja Kesucian Baptisan Api berdiri tahun 1895 dengan pimpinannya B.H Irwin dan beberapa gerakan kerohanian lainnya Kelompok-­kelompok ini merupakan mata rantai penting yang menyambungkan gerakan kesucian dengan gerakan Pantekosta di abad ke 20.

 

Charles Fox Parham adalah salah seorang pendeta di Episcopal Methodis Church yang meninggalkan gereja itu karena dirasakan sudah kurang mementingkan kesucian hidup, dan kurang menekankan peranan dan karunia-karunia Roh Kudus serta penyembuhan Ilahi. Tahun 1898 Parham membuka Wisma Penyembuhan Ilahi yang Bernama ‘Bethel Healing Home” di Topeka, Kansas.

 

Menjelang akhir tahun 1900 dia membuka Sekolah Alkitab Bethel” (Bethel Bible School) di Luar kota Topeka. Pada liburan Natal 1900 Pdt Parham mengadakan tour penginjilan ke luar kota dan menugaskan para siswa untuk mengkaji kebenaran tentang Baptisan Roh Kudus seperti ditulis dalam Kisah Para Rasul I dan 2. Penyelidikan ini membuka banyak rahasia tentang perlunya kepenuhan Roh Kudus dan ‘glossolalia’ bagi setiap orang percaya.

 

Akibatnya pada malam perpisahan tahun menjelang I Januari 1901 atau memasuki abad 20, ketika mereka sedang berdoa, seorang murid yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh kudus sambil Berbahasa lidah tatkala Pdt. Charles Parham meletakkan tangan ke atasnya. Peristiwa pencurahan Roh Kudus di awal abad ke-20 ini menandai lahirnya Gerakan Pantekosta. Gerakan ini menjadi semakin dahsyat pada tahun 1906 tatkala seorang murid Pdt. Parham yaitu William Seymour dipakai secara luar biasa yang melahirkan kegerakan rohani disertai pencurahan Roh Kudus besar-besaran di Azusa Street, Los Angeles. Sejak saat itu sungai Roh Kudus telah mengalir dengan deras ke seluruh penjuru dunia sampai akhirnya gerakan Pantekosta  tiba di Indonesia pada bulan Maret 1921. Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia itu adalah Richard Van Klaveren dan istri, serta Cornelius E. Groesbeek dan istri bersama dua anaknya yaitu Yenny dan Corry. Mereka diutus oleh Pdt. W.H. Offiler pemimpin gereja ”Bethel Temple” di Seattle, Negara bagian Washington Amerika Serikat. Menurut catatan, Ibu Groesbeek meninggal dan dimakamkan di Surabaya pada bulan Oktober 1934, dan Rev. Van Klaveren dimakamkan di kota Jakarta.

 

Embrio GPdI

William Henry Offiler adalah seorang warga Negara Amerika keturunan Inggris yang lahir di Notingham tahun 1875, dan merupakan tokoh dibalik pergerakan Pantekosta di Indonesia. Pada tahun 1914, ketika sedang bekerja sebagai seorang mandor di Glacier National Park, Tuhan memanggil dia dan istrinya melalui sebuah penglihatan untuk pergi ke kota Seattle dan menyerahkan hidup secara fulltime melayani Tuhan. Di kota ini kemudian dia mendirikan dan memimpin gereja “Bethel Temple.”

 

Pada tahun 1919, dalam sebuah KKR besar di bawah tenda-tenda raksasa yang dapat menampung ribuan orang di tepi Green Lake, Tuhan bekerja dengan luar biasa dan banyak jiwa dimenangkan, ratusan orang dibaptis selam dan menerima kepenuhan Roh Kudus serta banyak pula visi panggilan Tuhan. Seattle kemudian menjadi pusat penginjilan Pantekosta ke arah barat laut. Dari sini banyak misionaris yang diutus ke berbagai dunia yang lain.

 

Dua keluarga saat itu yang menerima panggilan Tuhan ke Indonesia adalah Rev. Cornelis E. Groesbeek dan istri bersama dua orang anak mereka (Yanny dan Corry), serta Rev. Richard Van Claveren & istri. Melalui nubuatan dan penglihatan yang ajaib, Tuhan menyatakan panggilan kepada mereka untuk pergi ke sebuah negeri jauh yaitu Netherlandsch Oost Indie (Indonesia). Panggilan mereka masih diuji oleh Pdt. W.H. Offiler beberapa waktu lamanya, dan setelah diteguhkan melalui beberapa proses yang ajaib, maka pada tanggal 4 Januari 1921, berangkatlah kedua keluarga misionaris tersebut dari kota Seattle, Washington dengan menumpang kapal laut ”KM Suwamaru” melintasi Samudera Pasifik, singgah ke pelabuhan Yokohama, Osaka, dan Hongkong dan tiba di Batavia pada bulan Maret 1921.

 

Proses Badan Hukum

Dari Batavia, kedua hamba Tuhan yang datang dari Bethel Temple, Seattle, USA itu, melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke pulau Bali. Namun karena penolakan yang kuat dari imam-imam Hindu dan tua-tua adat setempat, maka pada akhir tahun 1922 mereka ke Surabaya, dan terus ke Cepu, Jawa Tengah. Di kota Cepu inilah terbentuk jemaat Pantekosta yang pertama di Indonesia.

 

Karena kemajuan yang pesat, maka pada tanggal 4 Juni 1924 Pemerintah Hindia Belanda mengakui eksistensi jemaat ini sebagai sebuah ”Vereeninging” (perkumpulan) dengan nama ”DePinkster Gemeente in Nederlandsch Indie.” Dan oleh kuasa Roh Kudus serta semangat pelayanan yang tinggi, maka jemaat-jemaat baru pun mulai bertumbuh dimana-mana. Tanggal 4 Juni 1937, pemerintah meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pantekosta ini dari status ” Vereeninging” menjadi ”Kerkgenootschap” (Persekutuan Gereja) berdasarkan Staatsblad 1927 No. 156 dan 532, dengan Beslit Pemerintah No. 33 tanggal 4 Juni 1937 Staatsblad No. 768, dan nama ” Pinkster Gemeente” berubah menjadi ” Pinksterkerk in Nederlandsch Indie.” Kemudian  pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, nama Belanda itu diubah menjadi ”GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA (GPdI).” Ketika itu Ketua Badan Pengoeroes Oemoem (Majelis Pusat sekarang) yaitu Pdt. H. N. Runkat.

 

Tahun 1973, terbit surat pengakuan dari Departemen Agama RI No. E/VII/156/929/73 yang menegaskan bahwa GPdI adalah kelanjutan dari Badan Hukum Kehormatan ” Kerkgenootschap DePinkster Gemeente in Nederlandsch Indie” sesuai Staatsblad tahun 1937 No. 368. Pada tahun 1988, terbit lagi SK Depag RI cq. Dirjen Bimas Kristen No. 30 tahun 1988 yang menyatakan bahwa GPdI adalah Lembaga Keagamaan yang bersifat GEREJA.

 

Perkembangan Awal

Peranan para Pionir yang menjadi jemaat pertama di Cepu, dan lapisan berikutnya yang telah menabur benih Pantekosta dengan kabar Injil sepenuh, patutlah dikenang, sebab oleh perjuangan mereka pohon GPdI telah bertumbuh dengan lebat ke seluruh pelosok Indonesia bahkan sampai ke mancanegara. Mereka antara lain: Pdt. H.N. Runkat yang merambah ladang di Pulau Jawa (jateng, Jabar, Jakarta, dll), tahun 1926 Pdt. Nanlohy menjangkau Kepulauan Maluku (Amahasa) yang kemudian disusul oleh Pdt. Yoop Siloey dll.

 

Tahun 1928 Pdt. S.I.P Lumoindong menabur ladang penginjilan Yogyakarta, tahun 1929 Pdt. Julianus Repi dan Pdt.A. Tambuwun menggempur Sulawesi Utara disusul beberapa waktu kemudian oleh Pdt. A. Yokom, Pdt. J. Lumenta, Pdt. Runtuwailan. Dan bergabung pula Pdt. E. Lesnussa yang datang dari Ambon.

 

Tahun 1930 Pdt. De Boer disusul Pdt. E. Pattiradjawane dan Pdt. A.F. Wassel ke Kalimantan Timur. Tahun 1932 Pdt. R. M. Soeprapto mulai membantu pelayanan di Blitar kemudian Singosari dan tahun 1937 ke Sitiardjo, Malang Selatan. Tahun 1933 Pdt. A.E. Siwi menabur ke pulau Sumatera (Sumsel, Lampung, Sumbar dan kemudian ke Sumatera Utara), Tahun 1935 Pdt. Siloey dkk merintis pelayanan di Kupang NTT. Tahun 1939, dari SULUT/TERNATE Pdt. E. Lesnussa ke Makasar dsk. Tahun 1940 Pdt. J.M.P. Batubara menebas ladang Kalimantan Barat (Pontianak). Pdt. Yonathan Itar pelopor Injil Pantekosta di Irian Jaya, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Oleh pengorbanan mereka, GPdI bertumbuh dengan pesat.

 

Struktur Organisasi GPdI

Forum tertinggi dalam GPdI ialah MUBES yang diadakan 5 tahun sekali. Mubes dihadiri oleh utusan-utusan daerah dan perwakilan-perwakilan Luar Negeri yang ditetapkan oleh Majelis Daerah masing-masing dengan kuota 20/1 atau setiap 20 gembala diwakili 1 utusan. Selain penetapan Garis Besar Program Kerja (GBPK) sebagai landasan operasional pelayanan GPdI 5 tahun ke depan, maka Mubes juga berfungsi memilih pimpinan GPdI tingkat Nasional yang disebut Majelis Pusat (MP).

 

MP GPdI beranggotakan 24 orang yaitu seorang Ketua Umum, 2 orang ketua, 1 Sekretaris Umum, 2 sekretaris, 1 Bendahara Umum, 2 Bendahara, serta 12 orang anggota yang menduduki 5 Departemen yaitu: Departemen Penggembalaan & Pelayanan Warga Jemaat, Departemen Penginjilan, Pertumbuhan Gereja & Pelayanan Lintas Budaya, Departemen Pengajaran & Pendidikan, Departemen Diakonia, Kesejahteraan & Pelayanan Masyarakat serta  Departemen Penerbitan Literatur, Musik & Kidung Gereja. Kemudian MP mengangkat wadah-wadah pelayanan tingkat Nasional yang disebut Komisi Pusat (KP). Komisi Pusat berjumlah 8 orang yaitu:

KP Pelayanan Anak Pantekosta (PELNAP)

KP Pelayanan Remaja Pantekosta (PELRAP)

KP Pelayanan Pemuda Pantekosta (PELPAP)

KP Pelayanan Wanita Pantekosta (PELWAP)

KP Pelayanan Pria Pantekosta (PELPRIP)

KP Pelayanan Profesi&Usahawan Pantekosta (PELPRUP)

KP Pelayanan Mahasiswa Pantekosta (PELMAP)

KP Pelayanan Anak Hamba Tuhan Pantekosta (PELHAT)

 

Ditambah dengan dua lembaga lainnya yaitu Komisi Penginjilan Pusat (KPP) dan Badan Kurator Sekolah-sekolah Alkitab GPdI. Setelah Mubes diadakan, maka pada tahun yang sama setiap daerah menyelenggarakan Musyawarah Daerah (MUSDA) tujuannya antara lain memilih pimpinan tingkat daerah yang disebut Majelis Daerah (MD). Sekarang GPdI memiliki MD dihampir seluruh provinsi di tanah air, kecuali 5 provinsi yang belum memenuhi syarat berdirinya MD GPdI sendiri.

 

Rincian Majelis Daerah GPdI sebagai berikut:

 

MD 1

Sumut/Aceh

MD 11

Kalbar

MD 21

Kalsel

MD 2

Riau

MD 12

Kalteng

MD 22

Sumbar

MD 3

Sumsel/Bengkulu

MD 13

Kaltim

MD 23

Banten

MD 4

Lampung

MD 14

Sulsel

MD 24

Jambi

MD 5

DKI Jakarta

MD 15

Sultra

MD 25

KBB (Babel)

MD 6

Jabar

MD 16

Sulteng

MD 26

Malut

MD 7

Jateng

MD 17

Sulut

MD 27

Gorontalo

MD 8

Jatim

MD 18

Maluku

MD 28

Kepri

MD 9

Bali/NTB

MD 19

Papua

MD 29

Irjabar

MD 10

NTT

MD 20

Jogjakarta

MD 30

dll

 

Selain itu GPdI memiliki beberapa perwakilan setingkat MD GPdI di luar negeri yaitu: East Coast USA, West Coast USA, Australia, Seoul, Malaysia, Singapore, Timor Leste, dll. Setelah MUSDA, maka setiap MD terpilih mengangkat pengurus wadah-wadah pelayanan tingkat daerah yang disebut Komisi Daerah (KD), selain itu MD juga mengangkat/menetapkan pengurus Majelis Wilayah (MW) di tingkat kecamatan dan pada gilirannya MW pun akan mengangkat pengurus wadah-wadah tingkat wilayah yang disebut Komisi Wilayah (KW). Akhirnya setiap MW membawahi Gembala-gembala Jemaat (GJ) ditingkat grassroots yang menjadi basis utama pelayanan GPdI, kemudian GJ mengangkat pengurus wadah tingkat jemaat yang disebut Komisi Jemaat (KJ).

 

Jenjang Kependetaan

Waktu ideal yang diperlukan seseorang untuk mencapai gelar Pendeta di GPdI rata-rata berkisar 10 tahun (dihitung sejak terjun dalam pelayanan secara full-time). Perjalanan panjang tersebut secara umum dapat dirinci sebagai berikut:

Mula-mula perlu TC (Training Centre) di sebuah pastori sekurang-kurangnya 1 tahun, kemudian ke Sekolah Alkitab kelas satu (lamanya 1 tahun), setelah tamat kelas satu dikirim/ditempatkan untuk praktek pelayanan sebagai pengerja muda minimal 1 tahun, kemudian masuk ke Sekolah Alkitab kelas dua (selama 1 tahun), sesudah itu praktek lagi minimal 1 tahun. Pada saat ini yang bersangkutan mulai dipercayakan dapat merintis sidang baru dengan waktu yang sangat relatif, bisa satu tahun, dua tahun atau lebih.

 

Bila sesudah memiliki pelayanan sendiri yang stabil dan rutin yang bersangkutan dapat dilantik oleh MD menjadi Gembala Jemaat biasanya dengan gelar Pdp (Pendeta Pembantu), dan bila pelayanannya terus berkembang maka dua tahun kemudian dapat dipromosikan untuk menjadi Pdm (Pendeta Muda) dan jika Majelis daerah merekomendasikan lagi, maka dua tahun sesudah Pdm, yang bersangkutan baru dapat dilantik di forum Mubes menjadi Pdt (Pendeta) penuh.

 

Jadi untuk mencapai gelar Pendeta (secara normal), dibutuhkan waktu sekurangnya 10 tahun. Aturan itu pun baru berubah/diperlunak pada kira-kira satu dasawarsa terakhir sebab sebelumnya (menurut AD/ART GPdI yang lama), jarak waktu antara pelantikan Pdp ke Pdm adalah 4 tahun, demikian juga dari Pdm ke Pdt harus 4 tahun. Sekarang jarak waktunya dipersingkat menjadi 2 tahun.

 

Dalam membuka ladang barupun, hamba-hamba Tuhan GPdI selama ini hanya bermodalkan “lutut” (doa), dan tidak ada gaji, tidak ada sponsor khusus, tidak ada subsidi, pendeknya bagaikan pasukan khusus yang diterjunkan ke hutan, harus bisa hidup sendiri, itu sebabnya pada umumnya jemaat-jemaat GPdI terbentuk dari tidak ada sampai menjadi ada, atau dari nol sampai bisa membangun gedung gereja, semua hanya oleh iman berdasarkan anugerah dan kemurahan Tuhan.

 

Pendidikan

Perkembangan GPdI yang pesat hingga ke seluruh pelosok tanah air, tidak lepas dari peran lembaga-lembaga pendidikan Alkitab yang dimilikinya. Itu berkat visi para founding fathers kita yang telah diletakkan sejak awal yaitu memprioritaskan bidang pendidikan dasar Alkitab dalam bentuk sekolah-sekolah Alkitab (SA), sebab Sekolah Alkitabiah yang mencetak pekerja-pekerja tangguh untuk merambah ladang-ladang gersang dan bukan Sekolah Tinggi Alkitab yang mencetak sarjana-sarjana Teologia. Tentu dengan kemajuan-kemajuan yang ada sekarang, sudah saatnya gereja menyiapkan juga tenaga-tenaga terdidik lewat institusi-institusi Pendidikan Tinggi untuk menjangkau segmen masyarakat tertentu.

Kategori: Profil

Topic Blog: Yayasan

Keywords Blog: GEREJA TOP TEN