Benih yang hidup, harus mati dulu

Ada tulisan dalam sebuah batu nisan yang berbunyi,”Life teaches us how to die; Death teaches us how to live”. (Kehidupan mengajarkan kita bagaimana caranya mati; kematian mengajarkan kita bagaimana caranya hidup). Suatu pernyataan yang menunjukkan adanya hubungan yang saling mengikat antara kehidupan dan kematian. Hubungan dua arah yang saling mempengaruhi. Menarik bukan!

Johannes 12:24-25
Karena pada umumnya, kita mempunyai konsep ttg kehidupan dan kematian hanya satu arah saja: yakni dari hidup menuju kematian. Kita semua hidup di dunia dan sedang menuju kepada kematian. Ada seorang filsuf yang bernama Martin Heidegger dari hasil pengamatannya ttg kehidupan manusia. Ia menyimpulkan dan memberi ciri pada kehidupan manusia sebagai “Zein Zum Tode” – “Ada menuju  kematian”. Heidegger berani mengatakan bahwa manusia sudah ditakdirkan untuk mati begitu ia lahir di dunia. Manusia ada untuk hidup menuju kematian.

Tidak mengherankan jikalau kematian bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan sebagai pengaruh dari pemahaman Heidegger tadi. Kematian dianggap sebagai musuh paling besar yang harus dihindari. Oleh karena kematian itu dimengerti sebagai akhir dari segala sesuatu. Kalau sudah mati yang sudah tamat. Habis..tidak ada yang dapat kita lakukan lagi. Kita bisa mengerti mengapa manusia sama sekali tidak suka berpikir atau berbicara mengenai kematian. Kematian menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.

Meskipun kita menyadari bahwa kita semua akan mati dan setiap hari pun kita menghadapi realita bahwa ada orang-orang yang mati di seluruh dunia ini oleh pelbagai macam sebab, namun segala sesuatu di sekeliling kita mendorong kita untuk terus berjalan “seolah-olah tidak ada apa pun yang baru terjadi. Dan keadaan ini membuat kita tidak pernah menyadari bahwa diri kita pun sebagai mahkluk yang akan mati.
Ada banyak usaha untuk menghindari kematian dari budaya kita. Kita mencoba menutupinya dengan sesuatu yang palsu atau basa-basi. Kita bahkan tak dapat membayangkan bagaimana kematian dapat mendatangkan kebaikan. Kematian adalah suatu hal yang pasti akan dihadapi dan dialami setiap orang, tetapi kita memperlakukan seolah-olah kematian ini bukan sesuatu yang nyata. Begitu juga dalam hubungan dengan sesama, kadang kala kita lebih menyukai kebohongan yang menyatakan bahwa kita dapat hidup selamanya. Kita lupa bahwa perjumpaan kita di dunia ini relatif singkat, sehingga mungkin anda atau saya tidak akan ada lagi di sini, besok, minggu depan atau tahun depan.

Kematian itu adalah bagian dari kehidupan kita di dunia ini. Lalu bagaimana kita seharusnya menyikapi kehidupan dan kematian? Perikop kita mengungkapkan pemahaman yang diajarkan Tuhan Yesus kepada para pendengar & pengikut-Nya. Ternyata konsep Tuhan Yesus berbeda dengan konsep dunia ini.  Kalau konsep dunia: dari hidup – mati; tetapi konsep Tuhan Yesus : hidup – mati – hidup lagi. Suatu konsep yang sulit dimengerti dan diterima oleh akal sehat manusia. Mati – tapi hidup lagi!! Berdasarkan logika sulit untuk dipercaya...mana mungkin!!
Dalam Yohanes 11, dikisahkan bagaimana Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus. Bagi Tuhan Yesus, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Justru melalui kematian dapat dihasilkan buah-buah kehidupan. Untuk menjelaskan hal ini, Tuhan Yesus memakai contoh sehari-hari yang merupakan kebenaran alamiah ttg biji gandum. Dikatakan dalam Yohanes 12 ayat 24, “jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Agar biji gandum itu dapat bertumbuh dan berbuah maka ia harus ditanam dan mati terlebih dahulu.

Sebenarnya melalui penjelasan ini, Tuhan Yesus sedang mengungkapkan rahasia kehidupan yang dijalani-Nya di dunia ini. Seperti biji gandum, hidup Tuhan Yesus harus mati dulu untuk menghasilkan buah-buah keselamatan yang berlimpah. Untuk itu, Tuhan Yesus mengosongkan dan merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia, dan dalam ketaatan-Nya pada Bapa, Ia rela berkorban mati di salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia telah memberi segala-Nya termasuk nyawa-Nya sendiri bagi kita manusia yang dikasihi. Suatu pengorbanan total! Melalui kematian-Nya, Tuhan Yesus dimuliakan. Namun makna kematian Tuhan Yesus bukan sekedar menebus dosa dan menyelamatkan manusia melainkan memberi kehidupan yang kekal bagi mereka yang percaya pada-Nya.

Kita lihat bagaimana Tuhan Yesus telah memberi contoh dan teladan dalam hal menyangkal diri demi keselamatan umat manusia dan dunia ini. Bagi Tuhan Yesus , ajaran yang paling pokok dari kekristenan adalah penyangkalan diri. Syarat utama menjadi murid Kristus adalah menyangkal diri, kita harus bersedia untuk menyalibkan dan mematikan “keakuan” dan “pementingan diri sendiri” agar hidup kita menghasilkan buah yang berlipat ganda. Kita harus membuang dan mengubur semua kehidupan lama kita, setelah itu baru bisa mulai yang baru. Ketika hidup kita sudah dibebaskan dan tidak lagi bergantung pada kekayaan & harta, pengetahuan & kepandaian, melainkan menyerahkan diri dan hidup kita sepenuhnya pada pemeliharaan dan pimpinan Allah.
Jika tidak demikian maka hidup kita seperti biji gandum yang tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, tetap hanya satu biji saja, hidup kita tidak akan bertumbuh & berbuah kalau hanya terus berfokus pada diri kita sendiri. (kekuatan gerak ke dalam). Tetapi kalau kita mau menyangkal diri dan hidup kita mengalami kasih dan anugerah Tuhan maka seluruh kehidupan kita diarahkan oleh kekuatan gerak keluar, menjadi berkat bagi banyak orang.

Hal menyalibkan dan mematikan keakuan dan pementingan diri sendiri (menyangkal diri) bukanlah suatu yang mudah. Karena kita harus berjuang mengalahkan diri sendiri. Ada begitu banyak orang yang sukses dan besar di dunia ini karena berhasil mengalahkan lawan-lawan tangguhnya tetapi kemudian jatuh karena gagal menundukkan dirinya sendiri; gagal mengalahkan egonya.

Nah oleh sebab itu, dalam Yohanes 12 ayat 25, Tuhan Yesus untuk lebih menjelaskan dan menekankan hal ini, memakai contoh lain dari kehidupan riil manusia dengan berkata, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” Tuhan Yesus tahu ada banyak orang yang mencintai nyawanya, mencintai hidupnya sedemikian rupa, sehingga ia bersedia untuk berbuat apa saja, mengorbankan apa saja, menghalalkan segala cara, pokoknya asal hidup. Moral tidak penting lagi, prinsip tidak penting lagi. Suara hati nurani juga tidak penting. Yang penting: bagaimana memuaskan diri sendiri dan hidup enak. Tapi ironisnya, kita malah kehilangan makna hidup yang sesungguhnya.
Kalau kita menghayati hidup ini adalah anugerah Allah maka hidup kita ini terasa amat berharga. Karena sangat  berharga maka kita wajib menjaga dan memeliharanya. Tetapi seperti yang Tuhan Yesus ingatkan, hidup di dunia ini cuma sementara dan hanya satu kali. Jangan karena kita begitu menyayangi hidup kita yang sekali dan sementara ini, lalu kita mengorbankan segala-galanya.

Di dunia ini, kita hidup cuma sekali dan mati juga Cuma sekali. Karena itu, hidup dan matilah dengan terhormat. Jangan asal hidup, asal enak, asal senang kita menjual keyakinan kita, prinsip kita dan hati nurani kita. Itu berarti menjual harga diri kita sendiri. Sebagai pengikut Tuhan Yesus, kita punya pengharapan bahwa masih ada hidup yang lain lagi yaitu hidup yang kekal, hal ini dimungkinkan karena Ia telah bangkit dari kematian dan hidup yang abadi. Inilah hidup yang sesungguhnya. “Untuk apa kita memperoleh segala sesuatu di dalam hidup yang sementara ini, tetapi kita kehilangan hidup yang kekal?”

Saya tertarik membaca berita ttg Katharine Gun, wanita yang bekerja sebagai penerjemah di Markas Besar Komunikasi Pemerintah Inggris. Ia menjadi terkenal karena membocorkan rahasia intelijen Inggris. Sebelum melakukannya, Ia bergumul keras, kalau tidak dibocorkan ia begitu peduli akan nyawa warga sipil Irak dan tentara Inggris dalam perang. Tetapi kalau ia membocorkan ia tahu risiko apa yang harus ia pikul. Ia dapat di hukum penjara karena membocorkan rahasia negera. Belum lagi teror atau ancaman dibunuh yang ia akan terima. Ia menjadi resah dengan keadaan ini namun suaminya terus mendukungnya dan mengingatkan, “ do nothing and die, or fight and die.” (Tidak melakukan apa-apa dan mati atau berjuang dan mati).

Oh sangat berbeda maknanya! Akhirnya, Katharine memilih untuk berjuang dgn membocorkan berita itu apapun risikonya. Dengan tindakannya itu, Katharine berhasil menyangkal diri dan berani mengambil risiko untuk keselamatan orang lain. Ia telah mengisi dan memberi makna hidupnya untuk berkorban demi kepentingan orang banyak. Itulah juga yang dilakukan Tuhan Yesus. Ia telah menyangkal diri-Nya, meninggalkan Tahta Kemuliaan-Nya di Surga datang ke dalam dunia untuk berkorban rela mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia. Suatu pengorbanan yang tidak ternilai!

Saya selalu ingat pesan yang diberikan oleh warga jemaat yang kena stroke kepada setiap orang yang mengunjunginya, Life is short use it well – hidup ini begitu singkat mari kita jalankan dengan sebaik-baiknya dengan jalan memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang.

Tuhan Yesus memberkati.

Artikel ini adalah khotbah pdt. S. Tjahjadi - GKIN - tgl 23 Maret 2008

Kategori: Bahan Renungan Alkitab

Topic Blog: Kesaksian

Keywords Blog: Benih, hidup, Yohanes

Comments

defeating ourself...?

BRAVO.. kang bule.
tulisan yang sangat menarik buat saya. menyangka diri, rasanya akhir - akhir ini frase tersebut sudah kurang disukai , dimana hedonisme menjadi suatu pola kehidupan yang dipilih dinegara - negara maju (jangankan negara maju, Indonesia saja sekarang sudah "rasanya" mulai mangikuti kecenderungan ini).
yang parah lagi....seperti yang kang bule tadi bilang

"Nah oleh sebab itu, dalam Yohanes 12 ayat 25, Tuhan Yesus untuk lebih menjelaskan dan menekankan hal ini, memakai contoh lain dari kehidupan riil manusia dengan berkata, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” Tuhan Yesus tahu ada banyak orang yang mencintai nyawanya, mencintai hidupnya sedemikian rupa, sehingga ia bersedia untuk berbuat apa saja, mengorbankan apa saja, menghalalkan segala cara, pokoknya asal hidup. Moral tidak penting lagi, prinsip tidak penting lagi. Suara hati nurani juga tidak penting. Yang penting: bagaimana memuaskan diri sendiri dan hidup enak. Tapi ironisnya, kita malah kehilangan makna hidup yang sesungguhnya.
Kalau kita menghayati hidup ini adalah anugerah Allah maka hidup kita ini terasa amat berharga. Karena sangat berharga maka kita wajib menjaga dan memeliharanya. Tetapi seperti yang Tuhan Yesus ingatkan, hidup di dunia ini cuma sementara dan hanya satu kali. Jangan karena kita begitu menyayangi hidup kita yang sekali dan sementara ini, lalu kita mengorbankan segala-galanya. "

hal ini menjadikan norma, nilai, dan iman menjadi mudah lenyap.
saya jadi teringat kat - kata Paulus.
"Memang segala sesuat itu boleh dimakan asalkan disertai ucapan syukur, tapi tidak semuanya berguna..."
jadi... ayo kang bule nulis lagi yang modelnya beginian ya....
fajar

Jangan MIMPI terus !!


Mengikut Yesus harus sangkal diri, karena hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Menyangkal diri adalah rela memaksa diri untuk RELA melakukan kehendak BAPA.

Banyak orang mengeluh, salibnya terlalu berat dan kebesaran. Tetapi nyatanya tidak, karena pada realitasnya banyak orang-orang yang hanya memanggul salib ilusi yang kemudian menipu dan merusak kehidupannya.Kehidupan demikian laksana tenggelam dalam sebuah lumpur hisap.

Yang bisa kukatakan hanyalah "BANGUN kawan!!, hari sudah petang..saatnya bergegas, Tuhan makin dekat, ladang sudah menguning.

Paparazzi

Bingung

Paparazzi,
Bahasa Indonesiaku belum sempurna. Komentarmu itu menanggapi artikel yg aku kirim atau lebih sebagai tambahan/pendapat.
GBU
Mas Bule