BOLOT Bicara BAWEL Mendengar

BathiQoY's picture

Kita mesti yakin, bahwa apa pun yang ”ada” itu pasti ada manfaatnya. Sebab sungguh tak masuk akal, bila ada karya Tuhan yang sia-sia alias mubazir, bukan? Kuku, misalnya. Pernah saya berfikir untuk apa orang memiliki kuku, yang cuma untuk dipotong bila telah bertumbuh panjang. Saya baru menyadari kegunaannya, tatkala jari saya terjepit pintu dan kuku saya terlepas.


saya ingat pernah dibuat terpana tak mampu bicara oleh pertanyaan seorang teman saya. Ia berkata, ”Kalau benar — seperti keyakinanmu – bahwa semua yang ada mesti ada manfaatnya, hayo, coba sebutkan apa gunanya ”puting susu” (maaf!) pada seorang pria!”.
Sebagai reaksi, seperti biasa, saya cuma bisa ”ngotot” alias ”ngeyel”. Menghadapi senjata pamungkas ”pokoknya”, teman saya tadi memang tak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi selesaikah masalahnya?

SAYA mengemukakan itu, karena ada satu makhluk di alam semesta ini, yang entah untuk apa ia ”ada”. Makhluk itu adalah orang-orang yang ”tanpa ekspresi” dan ”tanpa opini”. Orang-orang yang tidak punya pendapat atau sikap atas apa pun yang terjadi.
Betul ‘kan orang-orang seperti itu tak ada gunanya? Sebab ada atau tak ada mereka, sedikit pun tak ada dampaknya terhadap kehidupan. Ibarat punya mobil rongsokan di garasi, yang dijual tak laku, dikoleksi tak berharga, diperbaiki tak mungkin lagi, tapi dibuang rasanya sayang. Tinggallah ia ”ada”, tapi fungsinya? Cuma ”menuh-menuhin” tempat semata.
Namun sebelum kita keburu mengambil keputusan final bahwa mereka benar-benar ”makhluk tak berguna” — padahal, dalam pandangan iman kita, apa pun pasti ada ”fungsi” dan ”missi”-nya dalam kehidupan – saya sarankan kita lebih mengenal mereka lebih mendalam terlebih dahulu.

MENURUT Kirschner dan Brinkman (”Dealing With People You Can’t Stand”), sebenarnya orang-orang yang tanpa ”ekspresi” maupun ”opini” itu bukanlah orang-orang yang sama sekali tak punya pendapat atau pendiran. Mereka memilikinya. Cuma saja, ada dua alasan ”besar” mengapa mereka tidak memperlihatkannya. Berdasarkan dua alasan ini pula, orang-orang ini dibagi menjadi dua kategori.
Kategori pertama, adalah orang-orang yang amat khawatir ditolak oleh lingkungannya. Mereka adalah ”The Get Along People”. Sedikiiiit saja mereka punya firasat bahwa ”akseptabilitas” mereka terancam, mereka — bak rumput ”puteri malu” yang tersentuh sesuatu – segera ”menguncupkan diri” mengambil langkah pengamanan.
Bila mereka merasa bahwa mereka tidak mempunyai pendapat atau kata-kata manis yang membuat orang lain senang mendengarnya, mereka memilih tidak memberi reaksi apa-apa. Ketimbang memaksakan diri berbicara, dengan risiko orang malah tambah menolak mereka, lebih baik bungkam seribu bahasa. Begitu pikir mereka.
Kategori yang lain adalah, orang-orang yang takut sekali dianggap salah. Mereka terobsesi untuk melakukan segala sesuatu secara benar alias ”perfek”. Atau, bila tidak, lebih baik tidak melakukan apa-apa sama sekali. Mereka adalah, ” The Get It Right People”. ”Untuk apa susah-susah melakukan atau memikirkan sesuatu, bila hasilnya malah tidak disukai orang? ”. Begitu jalan penalaran mereka.

YANG juga sering luput dari pengenalan kita terhadap orang-orang itu adalah, kita menyangka mereka adalah orang-orang yang ”bebas konflik”. Tentu saja benar, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat ingin menghindari konflik. ”Dari pada ribut-ribut, sudahlah, saya pilih diam”. ”Saya sih tidak suka debat. Ogut lebih baik kunci aja mulut ogut”.
Itu sikap mereka keluar. Tapi di dalam, bukan tidak mungkin hati mereka waktu itu sebenarnya sedang bagaikan bergolak bak air mendidih, yang tengah merebus pelan-pelan sikap kebencian dan permusuhan.
Saya kira Anda pernah melihat rekan Anda sedang duduk sendirian sambil mencabik-cabik kertas, atau memukul-mukul kepala, atau mencoret-coret kertas.
Pokoknya uring-uringan. Lalu didorong rasa simpati, Anda menghampirinya. ”Ada apa? Adakah sesuatu yang bisa kutolong?” . Saya jamin 99 persen dari mereka akan menjawab, ”O, tidak ada apa-apa kok. Sungguh! Semuanya baik-baik saja”.
Itulah orang-orang yang saya maksudkan. Hati mereka sedang menggelegak oleh amarah, kecewa, atau perasaan tidak terima. Tapi belum tiba ke ”titik didih” untuk meluap keluar. Yang keluar adalah, ”Tidak ada apa-apa kok. Sungguh!”. Tenang dan diam di permukaan. Namun ”diam” yang sebenarnya tidak lain adalah sekadar pembungkus atau kamuflase ”protes” dan ”perlawanan” yang sesungguhnya.
Sebab itu jangan cepat-cepat percaya, seolah-olah ”diam” mereka itu adalah sebab mereka tak punya ”ekspresi” atau ”opini”. Sebaliknyalah! ”Diam” itu adalah ”ekspresi” mereka, ”opini” mereka. ”Ekspresi” dan ”opini” yang tersembunyi. Dan yang tersembunyi serta terkamuflase inilah yang mesti kita urai, agar terbuka ”di atas meja”.

GODAAN terbesar dan penyebab utama dari kegagalan banyak orang menghadapi orang-orang yang ”tanpa ekspresi” dan ”tanpa opini”, seringkali bukanlah karena kurang ”maksud baik”. Tidak! Tapi kebanyakan adalah, karena mereka kurang ”sabar”. Teristimewa ketika sesuatu harus segera dikerjakan — dengan cepat dan dengan tepat.
Betapa frustrasinya, bila di satu pihak Anda ingin cepat-cepat, eee, mereka sebaliknya justru seolah-olah sengaja memperlambat langkah Anda. Frustrasi ini mudah sekali berubah menjadi amarah. Tapi amarah, saya jamin, tidak bakal menuai apa-apa.
Kesalahan paling umum yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anak mereka juga terletak di sini. Anak balita teman saya mengidap kebiasaan buruk. Bila disuap, ia cuma mengulum makanannya. Tidak mau mengunyah atau menelannya.
Teman saya mula-mula berusaha sabar. Tapi lambat laun ”stok” kesabarannya habis juga. Maka ia pun mulai mengancam, lalu membentak, lalu mencubit. Tapi si anak justru semakin rapat mengunci mulutnya. Padahal, siapa tahu, bila si anak itu dibiarkan tidak makan, ia sendiri yang satu saat justru akan memintanya. Sebab ia toh akan lapar juga.
Analogi dengan itu, jalan terbaik mengadapi orang-orang yang :”tanpa ekspresi dan tanpa opini” sebenarnya adalah dengan mengejutkan mereka. Dengan menunjukkan sikap seolah-olah Anda punya waktu yang tak terbatas, dan punya kesabaran Anda tak bersyarat. Anda menunjukkan, bahwa apa pun yang ia lakukan untuk mengganggu keseimbangan Anda, pasti gagal.
Anda tidak terprovokasi. Anda tetap tenang dan santai. Dan tidak putus asa menghadapinya. Dialah yang saya jamin, justru mulai ”berputus-asa” menghadapi Anda. Menghadapi ”makhluk aneh” seperti Anda, ia akan diusik oleh rasa ingin tahu. Lalu mulia besedia membuka diri serta berinteraksi dengan Anda.

TUJUAN utama Anda menghadapi mereka adalah, membuat ia bereaksi, mau berinteraksi, dan ... berbicara! Ini mungkin terjadi, bila Anda menerapkan strategi yang tepat.
Misalnya, sediakan waktu Anda. Jangan menghadapi mereka persis pada saat Anda sedang amat sibuk atau terburu-buru. Anda mesti siap mental, bahwa mengubah mereka menuntut waktu yang lama dan proses yang panjang.
Kemudian, ajukan pertanyaan yang tepat. Orang-orang seperti mereka biasanya tidak bersedia menjawab ”ya” atau ”tidak”. Mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana kesanmu?” biasanya lebih mudah membuka mulut mereka ketimbang pertanyaan ”Kau suka atau tidak?”
Penting pula, Anda memberikan kesan, bahwa Anda sungguh-sungguh membutuhkan jawabannya. Bukan sekadar pertanyaan sambil lalu. Bukan pula bertujuan ”menguji” atau ”men-tes” dia. Upayakan membangun suasana pembicaraan yang serelaks mungkin. Jauh dari suasana formal dan tegang.
Akhirnya, bila semua cara itu masih belum berhasil juga, ada baiknya bila Anda dengan bijak – tanpa nada mengancam atau menakut-nakuti – mengajak mereka melihat ke depan. Menyadari konsekuensi yang merugikan dari sikap mereka itu.
Bila kita buat analoginya dengan anak balita teman saya tadi, mungkin yang kita katakan adalah, ”Baik, kamu tidak usah makan. Malam ini tidak, besok tidak, lusa juga tidak. Ibu lebih baik menolong kakakmu”. Kemungkinan besar, anak itulah yang tak berapa lama kemudian akan berkata, ”Tapi bagaimana kalau aku lapar?”
Ketika orang-orang ini mulai bersedia membuka diri dan mulut mereka, ingatlah, ini saatnya bagi Anda untuk mulai mendengarkan. Dengan serius dan dengan tulus. Bukan sebagai semacam ”trick” dengan maksud mendominasi, tapi karena Anda benar-benar ingin memahami. a

* Yakobus: 1:19. Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;



Kategori: Konseling Kristen

Topic Blog: Kesaksian

Keywords Blog: Buah Roh, Firman, iman, Perbuatan

Comments

dianpra's picture

Hati-hati dengan orang pendiam

hati-hati dengan orang pendiam, sekali berreaksi, hasilnya bisa luar biasa, luar biasa buruk bisa, luar biasa baik juga bisa. Begitu kata orang ...
Jadi konselor memang ngga mudah, ia harus mengerti benar jenis-jenis karakter orang dan menerapkan strategi yang tepat menghadapinya.
Thx bathiqOy buat tulisannya, aku setuju dengan tulisanmu.
Jadi inget film yang pernah diputar dalam suatu seminar konseling yang pernah sku ikuti dulu, judulnya aku lupa, tapi kalo ngga salah settingnya di Angkatan laut AS. Sikonnya mirip sama tulisanmu, si konseli bungkam luar biasa, tapi dengan kesabaran si konselor dalam menunggu dan memancingnya bicara, akhirnya dia buka mulut juga.

BathiQoY's picture

Dianpra, inilah hidup

ha..ha..ha, sodara Dianpra inilah hidup, banyak sekali keunikan-keunikan yang tidak bisa begitu saja kita nilai semudah membalik telapak tangan, butuh perenungan2 yang mendalam supaya menjadi semakin bijak.

well, have a nice trip

dianpra's picture

BathiqOy

wuakaka...jadi ingat kata-kata temanku yang secara tersirat mengungkapkan sulitnya membalik telapak kaki.
Mungkin memang benar, ada banyak sekali hal unik yang untuk menilainya ibarat membalikkan telapak kaki, sulit, tapi dengan sedikit usaha dan akal, bisa ....

dua pasang telinga

Membalik telapak kaki, tengkurep aja Dian hehe ...
Memang benar yang diperlukan adalah kemampuan mengajukan pertanyaan dan mengamati. Juga kesediaan untuk mendengar. Itulah salah satu alasan mengapa Tuhan kasi dua telinga dan bukan sepasang mulut. Tapi masalahnya, saat ini orang lebih seneng didengerin daripada mendengarkan je ....
"kita berbeda dalam semua kecuali dalam cinta."

Siapa yang salah?

Aku kenal beberapa teman yang memiliki karakter seperti ini, sangat pendiam dan sangat jarang berekspresi dan bereaksi terhadap apapun. Tidak diragukan lagi, sebenarnya mereka ini hidup! Salah satu kasus yang bisa aku ceritakan di sini, temanku ini sebenarnya adalah seorang yang bukan pendiam, dia adalah seorang yang aktif di organisasi dan selalu berani tampil di muka. Hanya saja karena masalah yang terjadi di rumah, membuat dia berubah. Dia mulai menjauh dari komunitas, suka menyendiri dan tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Dia jadi sangat sulit didekati dan akhirnya tidak lagi memiliki teman. Kalau begitu siapa yang salah dalam hal ini? Tapi benar, meski mungkin dia tidak mengakuinya, dia pasti butuh teman. Sayang kami sudah tidak tinggal satu kota dan entah bagaimana kabarnya sekarang.

BathiQoY's picture

No Problemo Lya

Lya, tidak ada yang salah, baik Introvert maupun extrovert adalah kepribadian yang sama baiknya. Semua tergantung cara kita melihatnya. Memang kalau kita lihat dari kehidupan sehari-hari para extrovert menganggap orang introvert sebagai kaum freaky, pun kaum introvert mengangggap extrovert sebagai orang yang seenaknya dan pecicilan.

Daripada mengeluh untuk perbedaan tersebut, jauh lebih baik bagi kita untuk belajar berempati terhadap tipe kepribadian lainnya, jadi bagi yang intovert belajarlah menjadi semi-in_auto ex, atau dengan kata lain berusaha mengurangi ke introvertannya dan belajar memasuki "wilayah" baru (extrovert) dengan Pede.

Tidak ada yang salah keduanya baik, dan keduanya menyenangkan, batasannya hanya sejauh berapa besar skala kadar empati kita dalam menilai mereka

Bisakah?

Di komentarku tentang siapa yang salah, aku tidak sungguh-sungguh sedang menanyakan siapa yang salah dan harus bertanggungjawab terhadap nasib temanku. Tapi untuk kasus temenku, dia berubah karena ada masalah, bukan karena karakternya begitu. Pertanyaanku, bisakah dia berubah seperti semula? Atau dia akan tetap seperti terakhir aku mengenalnya?

Berubah!

Seperti halnya dia berubah sebelumnya, dia juga bisa berubah seperti semula. Asal dia mau membuka diri dan ada orang yang membantunya. Harus ada pemulihan. Dukung dalam doa agar hal itu bisa terjadi.
Oya, salam kenal buat semua :)
"kita berbeda dalam semua kecuali dalam cinta."

Kepribadian gandakah?

Salam kenal juga..

Jadi, jika ada pemulihan, dia bisa berubah? Begitu ya? Kalau dia merasa lebih nyaman dengan keadaannya yang sekarang, bagaimana? Atau mungkin karena dia sudah terjebak dalam karakter barunya?

Menurut berbagai tes yang pernah aku ikuti, aku termasuk orang yang extrovert. Tapi, di saat-saat tertentu, aku bisa sangat pendiam, tidak suka keramaian, suka mengurung diri di kamar, lebih suka jalan-jalan sendiri di pantai dan menghabiskan waktu hanya untuk melamun, apakah dengan begini berarti aku bukan extrovert? Atau mungkin kepribadian ganda?

Any comment?

BathiQoY's picture

Dr jaqil and Miz Hyde

ha..ha..ha Lya, sungguh menarik membaca komentar anda tentang kepribadian ganda. Well Lya, setiap orang memiliki kepingan intro dan extro dalam dirinya, nah tugas qta untuk melakukan evaluasi manakah yang LEBIH dominan dalam karakter kita. Lya, anda pasti pernah dengar pernyataan "bisa karena biasa", entah itu positif, entah itu negatif. "Air tetesan melubangi batu".

Nah Lya bagaimana pendapat anda, apa anda setuju ? Terkadang disadari atau tidak; kepribadian kita terbentuk laiknya proses pembuatan tembikar, dan jika sudah mengeras, untuk merubahnya butuh lebih banyak air(?) dan api (!)

* James 2:26 >For as the body without the spirit is dead, so faith without works is dead also.

Bless in JC ;o)

Ada referensi?

Guten morgen!

Mm...masalahnya bukan setuju ato enggak sih, kalo Anda ga keberatan, kasih dong referensi supaya aku bisa mempelajari semua itu dengan baik. Aku sangat tertarik dengan bidang ini, sayang selama ini belum ada kesempatan untuk mendalaminya secara serius. Siapa tau aku bisa seperti Anda, jadi berkat buat orang lain, kasih informasi/bagi ilmu ke orang yang ga ngerti kayak aku Smile

dianpra's picture

Baca Dr jaqil and Miz Hyde

Dr jaqil and Miz Hyde (sepertinya ejaannya salah ya?%^@%@%^@), ni drama terkenal banget lya, soal kepribadian ganda.

atau kamu lihat aja film-film soal kepribadian ganda, dulu ada satu film yang diperanin sama Robert de Niro, tapi aku lupa judulnya, kalo ga salah Hide and Seek, tu juga soal kepribadian ganda.

Atau lihat filmya Russel Crowe, Beautiful Mind, bagus tu, apalagi itu sepertinya berdasar atas kisah nyata, cuma bukan tentang multiple personality, tapi Schizophrenia, kisah hidupnya John Nash, peraih Nobel dalam bidang ilmu pengetahuan ekonomi.
menarik lihat film-film seperti itu

BathiQoY's picture

Ha..ha..ha Dianpra betul,

Ha..ha..ha Dianpra betul, ejaannya saya cuma ngikut suara vocal saja. Mengenai beautiful mind, sungguh menarik.. apalagi ini based on true story. Soal referensi buat Lya ?mmm... apa ya? sejauh ini sih yang kutahu belum ada buku yang capable dan tajam membahas soal ini. Tapi gak papa, kita bisa saling asah-saling asuh disini khan, ciayo.

                                                    -###- 

* James 2:26 >For as the body without the spirit is dead, so faith without works is dead also.

Bless in JC ;o)