Cara Bijak Meredam Aksi Terorisme

Normal
0

false
false
false

EN-US
ZH-CN
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:SimSun;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

Cara Bijak Meredam Aksi
Terorisme

Tak ada satu negara pun yang secara terbuka mendukung aksi
terorisme, bahkan pelaku aksi teror itu sendiri juga tak pernah mengakui diri
sebagai kelompok teroris. Realitas ini terkuak pada aksi teror di Mumbai,
khususnya juga pada penyerangan 11 September di Amerika Serikat. Pelaku teror
merasa sedang memerangi terorisme.

Pelaku teror  balik
menuduh, bahwa yang jadi sasaran aksi mereka adalah  terorisme yang telah meneror mereka.  Artinya, kata 
terorisme adalah suatu sebutan terhadap mereka yang melakukan teror yang
terlontar dari mulut mereka yang menjadi sasaran aksi teror. Jadi, siapa saja
yang menjadi sasaran aksi terror akan menyebut peneror sebagai terorisme.
Realitas itu kemudian melahirkan polemik dalam penggunaan istilah perang
terhadap terorisme.

Polemik ini tentu saja tidak menguntungkan karena hanya akan
menambah rumitnya usaha untuk menemukan cara bijak meredam aksi-aksi teror yang
selalu saja mampu mambangkitkan bulu roma kita.

Polemik soal terorisme

Sejak didengungkannya perang terhadap teroris oleh George
Bush pasca penyerangan 11 september, ada banyak suara yang menentangnya. Perang
terhadap teroris seakan menampilkan sesuatu yang tak berwujud menjadi sesuatu
yang berwujud, meminjam istilah Derida, filsuf Postmodernisme. Bush Menciptakan
Osama Bin Laden sebagai musuh dunia, symbol dari yang tak berwujud, yakni
teroris.

Kecerobohan memberikan wujud terhadap terorisme itu kemudian
melahirkan tipikal negara terorisme. Bukan hanya Afghanistan yang menolak
menyerahkan Osama Bin Laden  mengalami
nasib naas di representasikan sebagai negara teroris dan menjadi sasaran
gempuran Amerika karena dianggap menjadi sarang teroris, Irak juga mengalami
nasib yang tragis direpresentasikan sebagai negara teroris dengan isu pemilikan
senjata pemusnah massal, padahal hingga saat ini tuduhan itu tak kunjung
terbukti.

Adalah sangat memprihatinkan karena meski negara-negara yang
dianggap  meresepresentasikan teroris itu
telah luluh lantak,  dan sulit untuk
kembali pulih seperti sedia kala, ancaman teroris ternyata tak juga kunjung
surut, yang terjadi justru sebaliknya, pada negara-negara yang telah porak –
poranda, aksi-aksi terorisme bertumbuh subur, bahkan lebih mengerikan dan sulit
untuk diredam, Irak dan Afghanistan merupakan saksi tindakan tersebut.
Jelaslah, menggempur satu negara dengan alasan telah menjadi sarang terorisme
bukan saja tidak bermanfaat sama sekali, tetapi makin menyemarakkan kemunculan
aksi-aksi terorisme.

Tindak pidana terorisme itu sendiri sesungguhnya bukanlah
tindakan terror biasa, tetapi kejahatan yang amat tercela, suatu kejahatan atas
nurani yang adalah kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime), artinya tak ada
seorang pun manusia yang memiliki nurani berani menyetujui kejahatan luar biasa
itu terus dipertontonkan. Jadi, wajar saja jika tak ada satu negara pun yang
mendukung terorisme, karena itu merepresentasikan satu negara sebagai negara
teroris bukan saja tidak produktif untuk meredam aksi terror, tetapi merupakan
suatu anomali, apalagi ketika jaringan terorisme itu meluas, atau biasa disebut
sebagai jaringan internasional, kerja sama antar negara justru menjadi syarat
utama yang mesti dipenuhi untuk melumpuhkannya.

 Kerjasama antar bangsa

Untuk menghadapi ancaman teroris, tidak bisa tidak semua
negara mesti bekerja sama, apalagi kita semua tahu, tak ada satu negara pun
yang mengakui sebagai negara teroris dan mendukung tindakan terorisme.  Ini artinya semua negara sama-sama memiliki
kepentingan untuk memerangi teroris, ini adalah modal penting untuk mengusahakan
suatu kerjasama antar bangsa yang terjalin baik dalam meredam aksi-aksi
teroris. Kerjasama antar bangsa itu juga akan memperkuat tiap negara untuk
menangkal terror yang mengancam di dalam negeri mereka sendiri, dan kemudian
secara bersama-sama memutus rantai teroris Internasional.

Kerja sama antar bangsa itu juga menjadi penting dalam krisis
yang melanda dunia kali ini. Pada banyak negara maju resesi global saat ini
mungkin tidak terlalu menakutkan seperti yang terjadi pada negara-negara
berkembang dan miskin, khususnya di Indonesia, karena pada negara maju korban
PHK masih dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi pada banyak negara
miskin dan berkembang, bahaya kelaparan menjadia ancaman serius. Perjuangan
hak-hak ekonomi pada negara-negara miskin 
semestinya mendapat dukungan negara maju. Ini mengindikasikan bahwa
implementasi Deklarasi Universal HAM menjadi sesuatu yang amat mendesak untuk
meredam aksi terorisme, bukannya focus pada bagaimana menggempur negara-negara
yang tak mampu memerangi kelompok teroris.

Implementasi HAM

Implementasi HAM menjadi penting dalam meredam aksi terror
karena Deklarasi itu sendiri lahir karena keprihatinan terhadap aksi-aksi
terror yang tidak manusiawi. Deklarasi universal HAM tepatnya lahir karena
trauma dunia yang mendalam akibat perang yang membawa korban jutaan manusia.
Akibat perang-perang dunia dan kekejaman NAZI yang sangat mengejutkan dunia,
karena itu, sebelum perang dunia itu berakhir pun sekutu telah memutuskan bahwa
penyelesaian pasca perang harus melindungi hak asasi manusia.

Selanjutnya, perjuangan HAM yang bersifat mendunia itu
semakin nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1945. Dalam pembukaan piagam PBB secara eksplisit menegaskan, PBB
sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM yang bersifat universal.
Kemudian, perjuangan HAM yang bersifat internasional itu akhirnya melahirkan
Deklarasi niversal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948.

Setelah perang dunia kedua, dunia masuk pada perang dingin.
Terpecahnya negara Unisoviet merupakan akhir dari perang dingin. Ancaman perang
duklir yang menjadi momok dalam perang dingin itu pun sirna, namun, persoalan
baru muncul, ancaman teroris yang melanda seluruh dunia ternyata tidak kalah
mengerikannya dengan ancaman senjata nuklir pada perang dingin, karena bukan
mustahil, suatu saat teroris akan melakukan aksinya dengan menggunakan senjata
pemusnah masal.

Memang Amerika Serikat telah menyiapkan pasukan yang dapat
mengantisipasi penggunaan senjata Nuklir oleh teroris, namun tetap saja, dunia
sedang  menghadapi bencana yang
menakutkan, yaitu kehancuran umat manusia, dan ini adalah tanggung jawab semua
umat manusia. Hanya dengan kerjasama antar bangsa itulah Implementasi HAM dapat
dilaksanakan dengan maksimal dan itu adalah cara bijak untuk meredam aksi
terorrisme.

 

Binsar A. Hutabarat

Kategori: Bahan Renungan Alkitab

Keywords Artikel: artikel. terorisme

Topic Artikel: Renungan dan Artikel